JAKARTA, KOMPAS - Jumlah pemilih milenial pada Pemilihan Umum 2019 diperkirakan mencapai lebih dari separuh total pemilih. Pendidikan politik bagi generasi milenial diperlukan. Selain untuk meningkatkan partisipasi, pendidikan politik juga penting untuk mengendalikan penyebaran hoaks, mengingat lebih dari separuh generasi ini aktif menggunakan media sosial.
Pengamat politik dari Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Djayadi Hanan, mengatakan, pendidikan politik tersebut harus diberikan dengan sistematis dan berbasis digital sesuai dengan karakteristik mereka yang aktif berjejaring sosial. ”Supaya generasi milenial bisa lebih cerdas menggunakan internet, khususnya media sosial,” kata Djayadi, Minggu (19/8/2018), di Jakarta.
Dengan bekal pengetahuan politik, menurut Djayadi, para milenial ini akan kritis menangkap pemberitaan. ”Mereka akan menyaring informasi yang didapatkan terkait dengan pemilu. Mereka juga lebih sadar menggunakan hak pilih karena menjadi salah satu generasi penentu,” ujarnya.
Menurut Djayadi, diperkirakan ada sekitar 55 persen pemilih dari generasi milenial (berusia 17-38 tahun) pada Pemilu 2019 nanti. ”Jika lebih kurang ada 190 juta daftar pemilih tetap, itu berarti pemilih dari generasi milenial ada sekitar 100 juta. Jelas semua partai akan menargetkan suara milenial,” ujarnya.
Dari jumlah tersebut, 60 persen hingga 70 persen generasi milenial aktif di dunia maya.
Rendy Doroii Herison, selaku pengamat media sosial, mengatakan, penyebaran isu hoaks di media sosial tidak bisa dicegah. Untuk itu ia berharap generasi milenial proaktif mencari kebenaran berita yang didapatkan pada masa pemilu. (E21)