JAKARTA, KOMPAS — Dua puluh tahun reformasi menunjukkan Indonesia merupakan negara demokrasi yang stabil. Namun, pemimpin yang lahir dari pemilihan secara demokratis belum berhasil melindungi hak-hak minoritas.
”Sistem demokrasi dalam penyelenggaraan pemilihan umum sejak reformasi dikatakan stabil karena tidak terjadi kudeta militer dan perang saudara. Namun, kesuksesan ini tidak diiringi dengan penegakan hukum untuk melindungi hak minoritas,” kata Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid, di Jakarta, Kamis (23/8/2018).
Paparan ini disampaikan dalam diskusi ”Indonesia: Governance, Democracy, and Human Rights 20 Years after the Reformasi”. Lembaga-lembaga yang terlibat adalah Center for Strategic and International Studies (CSIS), Amnesty Internasional Indonesia, The Royal Institute of International Affairs atau Chatham House, dan Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan.
Menurut Usman, perlu adanya penegakan hukum yang berbasis pada nilai-nilai hak asasi manusia yang menolak adanya kebencian berdasarkan suku, agama, ras, dan golongan. Hal yang harus dicegah adalah bentuk ujaran kebencian, pernyataan diskriminatif, hasutan untuk menutup dan menyerang rumah ibadah, serta menyerang kelompok tertentu.
”Masa kampanye menjelang Pemilu 2019 adalah waktu bagi politisi untuk memobilisasi massa. Maka, badan pengawas pemilu perlu mengadopsi konvensi mengenai antidiskriminasi agama untuk dijadikan dasar dalam memeriksa para pelaku tindak pidana pemilu selama masa kampanye,” kata Usman.
Peneliti Amnesty Internasional Indonesia, Papang Hidayat, mengatakan, hingga saat ini Indonesia telah meratifikasi setidaknya delapan dari sembilan instrumen HAM internasional. Salah satunya, Kovenan Hak Sipil Politik mengenai penghapusan diskriminasi terhadap perempuan, ras, dan buruh migran.
”Meski telah meratifikasi banyak instrumen, dalam setiap laporan yang dibuat, Indonesia sering mendapat kritikan dari badan HAM karena banyak yang tidak diimplementasikan. Maka, ini merupakan zero implementation dari upaya perlindungan HAM,” kata Papang.
Menurut Papang, pemerintahan pada era Reformasi tidak menjadikan isu HAM sebagai prioritas. Selain itu, masalah teknis terjadi karena yang menghadapi evaluasi terhadap rekomendasi adalah orang-orang Kementerian Luar Negeri. Maka, ketika rekomendasi dibawa ke lembaga pemerintah terkait, mereka tidak paham apa yang harus dilakukan.
Tantangan Pemilu 2019
Menurut peneliti CSIS, Nicky Fachrizal, tantangan terbesar dalam pemilu kali ini adalah menguatnya politik identitas yang dilakukan para elite politik. Apabila politik identitas terus menguat, isu SARA akan kembali menjadi isu yang diperdebatkan.
”Isu SARA sering kali efektif dalam menarik suara dan memecah suara lawan. Seharusnya, perdebatan para elite politik didasarkan pada konstitusi mengenai kebijakan dan program. Maka, reformasi dapat membentuk demokrasi yang berkualitas, yaitu berkurangnya penggunaan isu SARA dan politik uang berkurang,” kata Nicky.
Selain itu, menurut spesialis tata pemerintahan dan kebijakan publik dari Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan, Lenny Hidayat, calon pemimpin seharusnya dikenal melalui capaian dan kinerja. Selama ini, pengukuran elektabilitas seorang calon pemimpin didasarkan pada popularitasnya.
”Dalam masa kampanye nanti, setiap partai politik seharusnya mengedukasi masyarakat untuk memahami siapa pemimpin yang akan dipilihnya. Masyarakat harus mengenal rekam jejaknya, kinerja, dan capaiannya selama ini. Dengan demikian, pemilih dapat memilih secara rasional, bukan karena kedekatan,” kata Lenny. (Sharon Patricia)