Penyandang Disabilitas Mental Terancam Kehilangan Hak Pilih
JAKARTA, KOMPAS – Hak pilih bagi penyandang disabilitas mental masih diabaikan. Stigma negatif di masyarakat yang menyatakan para penyandang disabilitas mental tak berkapasitas memilih dapat membuat mereka kehilangan hak pilihnya saat Pemilihan Umum 2019.
"Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak memperhatikan masalah penyandang disabilitas mental baik dalam pemilihan umum maupun pemilihan kepala daerah. Pada 2014, hanya dua ribu dari sekitar belasan ribu penyandang disabilitas mental yang mendapatkan hak pilihnya," kata Ketua Perhimpunan Jiwa Sehat, Yeni Rosa Damayanti, di Jakarta, Jumat (24/8/2018).
Menurut Yeni, ada dua permasalahan penyandang disabilitas mental tidak mendapatkan hak pilihnya. Pertama, ketidakpahaman KPU di setiap daerah bahwa penyandang disabilitas mental juga memiliki hak pilih.
Hal ini pun ditambah dengan stigma bahwa penyandang disabilitas mental rentan untuk dimanipulasi. Pilihan mereka dianggap rentan untuk dipengaruhi sehingga suaranya menjadi tidak netral.
Kedua, para penyandang disabilitas mental belum semuanya memiliki Kartu Tanda Penduduk Elektronik (KTP-el). Hal ini harus segera diselesaikan, mengingat syarat KTP-el sebagai basis data dalam ketentuan UU Pemilu No 7/2017.
"Para penyandang disabilitas mental yang dirawat baik di rumah sakit maupun panti sosial tentu tak dapat mengurus KTP-nya secara mandiri. Maka, pemerintah seharusnya datang menjemput bola untuk memfasilitasi pembuatan KTP-el," kata Yeni.
Yeni menambahkan, bagi penyandang disabilitas mental yang ada di masyarakat, kecenderungannya mereka akan mendaftar dan memilih secara tersembunyi. Hal ini memang berhasil dilakukan, namun menunjukkan bahwa masyarakat pun perlu diedukasi.
“Masyarakat perlu mendukung para penyandang disabilitas mental yang ingin menggunakan hak pilihnya. Apabila dukungan ini diberikan, para penyandang disabilitas mental pun dapat lebih percaya diri dalam menentukan pilihannya,” kata Yeni.
Menurut psikiater Irmansyah, pada umumnya penyandang disabilitas mental akan kecewa apabila haknya dilanggar. Maka, untuk memastikan mereka dapat memilih, sebenarnya hanya diperlukan pemeriksaan sederhana.
“Tidak perlu pemeriksaan yang rumit, pada tingkat sederhana sebenarnya sudah cukup. Kita hanya perlu menanyakan hal mendasar misalnya, ‘apakah kamu mengetahui pemilu, apakah kamu punya pilihan’. Apabila mereka dapat menjawabnya, itu membuktikan mereka mampu menentukan pilihannya,” kata Irmansyah.
Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum, Abhan, mengakui, tidak memiliki data jumlah penyandang disabilitas mental secara nasional. Hal ini menghambat pendataan daftar pemilih sementara yang saat ini berada di tingkat kabupaten/kota.
“Bawaslu akan berupaya membantu para penyandang disabilitas mental agar mendapatkan hak pilihnya. Terkait belum tersedianya tempat pemungutan suara di rumah sakit dan panti sosial juga akan menjadi perhatian kami,” kata Abhan.
Abhan mengatakan, paling lambatnya, hingga akhir tahun ini semua masyarakat telah memiliki setidaknya rekam data KTP-el. Dengan demikian, pendataan daftar pemilih tetap dapat berlangsung lancar mulai dari tingkat kabupaten/kota, provinsi, hingga nasional. (Sharon Patricia)