JAKARTA, KOMPAS — Tidak semua partai politik yang tergabung dalam koalisi pendukung Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno akan berjuang maksimal untuk memenangkan pasangan calon itu. Partai Demokrat, misalnya, lebih memprioritaskan memenangi kursi di pemilihan legislatif dibandingkan dengan memenangkan calon yang diusung di pemilihan presiden.
Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Hinca Panjaitan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (28/8/2018), mengatakan, dalam menghadapi skema pemilihan umum serentak yang menggabungkan pemilihan legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres), partai akan memprioritaskan pemenangan di pileg dibandingkan dengan pilpres.
Apalagi, persaingan pileg ke depan diprediksi akan semakin ketat dengan naiknya persentase ambang batas parlemen dari 3,5 persen menjadi 4 persen perolehan suara sah nasional. Artinya, jika ada 100 juta pemilih, partai harus mengamankan 4 juta suara.
”Mencari 4 juta suara itu tidak mudah, besar sekali angkanya,” kata Hinca.
Dampak dari hal itu, sampai sekarang, Partai Demokrat belum mengirimkan perwakilan kader-kadernya untuk menduduki jabatan di tim pemenangan Prabowo-Sandiaga meskipun partai koalisi lainnya sudah mengirimkan kader. Hinca mengatakan, Demokrat meminta waktu lebih kepada Partai Gerindra selaku ”tuan rumah” koalisi karena masih berupaya mencari kader yang bersedia mengurusi pilpres sekaligus pileg.
”Sebab, kader-kader partai itu rata-rata calon anggota legislatif, sementara kami tentu mau mencari yang bisa sepenuhnya mengurusi pilpres dan pileg. Kami sekarang masih tanyakan kepada satu per satu kader, siap tidak?” katanya.
Hinca mengatakan, tantangan Pemilu 2019 memang berpotensi membuat partai lebih fokus mengurusi pileg dibandingkan dengan pilpres, khususnya partai yang tidak memiliki perwakilan kader di posisi calon presiden-calon wakil presiden. Dampaknya, mesin politik koalisi di pilpres bisa kurang maksimal karena partai anggota koalisi terbelah antara pileg dan pilpres.
”Mana lebih baik, punya presiden, tetapi partai tidak lolos di parlemen, atau lolos di parlemen, tetapi tidak punya presiden? Makanya, kami mendorong agar kader upayakan sedemikian rupa di pileg, baru setelah itu pilpresnya,” ujarnya.
Namun, Hinca membantah bahwa kurang maksimalnya kontribusi Demokrat itu karena Komandan Komando Satuan Tugas Bersama Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono tidak jadi menduduki kursi cawapres mendampingi Prabowo. ”Bukan karena itu. Ini murni karena sistem pemilu sekarang serentak. Kami jadi susah membagi energi antara memperjuangkan pileg dan pilpres,” katanya.
Alih-alih mantan Wakil Gubernur Jawa Barat Deddy Mizwar yang adalah pendiri Partai Demokrat justru ditetapkan menjadi juru bicara untuk koalisi Jokowi-Ma’ruf, kemarin. Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto mengatakan, koalisi hendak menyatukan seluruh elemen dan tokoh masyarakat untuk memenangkan Jokowi-Ma’ruf.
”Tentu ada aspek strategis (mengamankan suara di Jabar). Tetapi, kalau kita lihat Pak Jokowi dan Pak Ma’ruf di Jabar, sebenarnya memiliki akar yang sangat kuat,” katanya.
Kubu Jokowi
Sementara itu, di pihak Jokowi-Ma’ruf, kondisi hampir serupa juga terlihat. Meskipun formasi tim kampanye Jokowi sudah rampung dan berjalan saat ini, dukungan sejumlah partai tidak seratus persen. Partai Golkar, misalnya, Senin lalu mengadakan rapat pleno dewan pimpinan pusat untuk membahas sejumlah persoalan partai, salah satunya isu perpecahan dukungan yang diembuskan beberapa elite partai.
Dalam kesempatan itu, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto meminta semua kader untuk tetap solid. Ia mengatakan, perbedaan pendapat di Golkar disampaikan oleh kader yang bukan pengurus inti serta kader yang sudah mencalonkan diri di pemilihan anggota Dewan Perwakilan Daerah. ”Jadi, mereka tentu tidak berhak lagi mengatasnamakan Partai Golkar. Kami sampaikan, DPP Golkar sepenuhnya solid, pemenangan pemilu siap bekerja,” katanya.
Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan Arsul Sani membenarkan, partainya saat ini tidak sepenuhnya mendukung Jokowi-Ma’ruf. Sebab, saat ini, sikap di internal partai terbelah antara mendukung Jokowi, Prabowo, dan sisanya menyerahkan sepenuhnya kepada dewan pengurus pusat partai. Namun, ia mengatakan, itu hal yang normal dalam koalisi.
”Selain PDI-P khususnya (partai asal Jokowi), delapan partai koalisi lainnya itu pasti ada elemen dissenting yang sikapnya berbeda. Persoalannya, perbedaannya itu sejauh apa dan dikelolanya akan seperti apa?” katanya.
Menurut dia, di koalisi Jokowi-Ma’ruf, partai-partai yang pendapatnya terbelah itu seperti di Golkar dan PPP. Di PPP sendiri sikap berbeda ditemukan pula pada 2014 ketika 57 persen memilih Prabowo dan sisanya mendukung Jokowi. Perbedaan pendapat itu juga berujung pada bibit perpecahan partai selama bertahun-tahun.
Kendati demikian, ia yakin hal itu tidak akan terlalu berdampak terhadap soliditas koalisi dan kekuatan politik Jokowi-Ma’ruf di 2019 mendatang. ”Partai itu selalu dinamis, selalu berubah. Resistensi dukungan itu pasti bisa diseimbangkan, ada imbangannya nanti. Bisa saja untuk menaikkan posisi tawar (terkait kursi kabinet),” kata Arsul.