JAKARTA, KOMPAS – Kinerja penyelenggara pemilihan kepala daerah masih menjadi salah satu alasan bagi peserta pilkada untuk mengajukan sengketa hasil pilkada ke Mahkamah Konstitusi. Dari 71 permohonan sengekta hasil pilkada yang diterima MK, terdapat delapan dalil utama yang sebagian besar berkaitan dengan kinerja penyelenggara, baik Komisi Pemilihan Umum maupun Badan Pengawas Pemilu.
Hingga, Senin (3/9/2018), MK meneruskan 13 perkara sengketa selisih hasil pilkada ke tahap pembuktian atau pemeriksaan saksi dan bukti. Dari total 71 permohonan sengketa, hanya 13 perkara yang dinilai layak diteruskan ke tahap pembuktian. 13 perkara diteruskan selain karena memenuhi ambang batas selisih suara pilkada, MK juga melihat alasan lain, semisal penghitungan suara yang tidak dilakukan sesuai dengan prosedur, terjadinya keadaan luar biasa yang menghentikan proses pilkada, dan tindakan insubordinasi karena tidak menjalankan perintah penyelenggara pemilu.
Ketua Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif Veri Junaidi, Senin (3/9/3018) di Jakarta, menuturkan, dalil yang paling banyak dimohonkan oleh pemohon ialah seputar persoalan hak pilih, kesalahan penghitungan suara, manipulasi daftar pemilih tetap (DPT), netralitas penyelenggara, pelaksanaan pilkada, politik uang, politisasi birokrasi, dan persoalan persyaratan calon.
“Dalil-dali pemohon itu menggambarkan problem yang kemungkinan terulang pada pilkada atau pemilu selanjutnya. Oleh karena itu, penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu) harus melakukan evaluasi dan antisipasi dari gambaran dalil permohonan pemohon di MK,” kata Veri.
Problem pada tataran penyelenggaraan pilkada idealnya bisa diselesaikan oleh panitia pengawas pemilu (panwaslu), karena lembaga tersebut memiliki peran pengawasan sekaligus ajudikasi bilamana terjadi sengketa. Akan tetapi, pada kenyataannya masih banyak pemohon sengketa hasil di MK yang mempersoalkan kembali teknis dan penyelenggaraan pilkada itu ke MK. Dari catatan Kode Inisiatif, ada lima permohonan yang dinyatakan tidak diterima oleh MK, antara lain karena obyek permohonannya keliru.
“Seharusnya yang dijadikan obyek dalam permohonan sengketa hasil pilkada ke MK adalah penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota. Namun, masih ada pemohon yang membawa problem di luar penetapan itu ke MK. Artinya, masih ada persoalan dalam penyelenggaraan pilkada yang belum tuntas diatasi di tingkat panwslu atau KPU daerah,” ujar Veri.
Selain evaluasi dari sisi penyelenggara, para pencari keadilan yang ingin berperkara di Mk juga diharapkan serius menyusun dalil-dalil permohonannya, serta mempertimbangkan batasan waktu tiga hari yang disyaratkan oleh UU. Veri mengatakan, beberapa permohonan sengketa pilkada ke MK sebenarnya berpotensi untuk ditindaklanjuti, karena ada problem substansial yang bisa diselesaikan oleh MK andaikata pemohon tidak menyalahi ketentuan tiga hari tersebut.
“UU menyatakan tiga hari kerja sejak penetpan hasil pilkada dikeluarkan oleh KPU, permohonan harus diterima oleh MK. Namun, masih banyak yang tidak mematuhi batasan ini, sehingga sayang sekali bila permohonan yang semestinya bisa diperiksa oleh MK ternyata dinyatakan tidak dapat diterima hanya karen melewati tanggat waktu permohonan,” kata Veri.
Dari 58 perkara yang dinyatakan tidak dapat diterima, sebanyak 11 perkara tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) dan melewati tenggat waktu pengiriman permohonan. Sisa perkara lainnya tidak dapat diterima karena tidak memenuhi ambang batas selisih hasil pilkada, yakni antara 0,5 persen hingga 2 persen disesuaikan dengan jumlah penduduk.
“Dalam perjalanannya, MK tidak selalu kaku berpegangan terbatas pada ambang batas saja. Dalam beberapa permohonan MK juga mempertimbangkan hal-hal yang menyebabkan terjadinya kecurangan yang signifikan di luar batasan yang ditentukan UU Pilkada,” kata Veri.
Juru bicara MK Fajar Laksono Soeroso mengatakan, pada prinsipnya ketentuan UU mengenai ambang batas selisih hasil itu tidak dapat disimpangi oleh MK. Namun, dalam alasan tertentu ketentuan itu bisa disimpangi bilamana ada problem lain yang signifikan yang berpengaruh langsung pada hasil pilkada.
Bahan evaluasi
Anggota KPU Hasyim Asy’ari menuturkan, dari 71 perkara perselisihan hasil pemilu di MK, ada 13 perkara yang berlanjut, sedangkan 55 perkara dinyatakan tidak bisa diterima, 2 perkara gugur, dan 1 perkara ditarik kembali. Menurut dia, hal ini mengindikasikan bahwa kualitas penyelenggaraan dari sisi integritas proses dan hasil semakin membaik. Kendati begitu, masih ada beberapa persoalan yang muncul dan bisa menjadi bahan evaluasi KPU.
“Yang sering menjadi isu adalah soal daftar pemilih seperti ditemukan di Sampang (Jatim), akurasi hasil penghitungan, serta soal batas wilayah penduduk dan dampaknya pada pemilih, serta isu pencalonan,” kata Hasyim.
Menurut dia, catatan-catatan dari proses sengketa pilkada di MK itu akan menjadi bahan evaluasi perbaikan dalam penyelenggaraan Pemilu 2019. KPU akan memberi perhatian seirus pada akurasi daftar pemilih karena itu bisa berdampak pada pelayanan pemilih di hari pemungutan suara. Apalagi, pada Pemilu 2019, perpindahan memilih lintas daerah pemilihan bisa berdampak pada hilangnya hak pilih warga pada pemilihan lembaga tertentu.