JAKARTA, KOMPAS – Partai politik perlu bertanggungjawab terhadap fenomena korupsi massal yang dilakukan para anggora Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang terjadi berulangkali. Pencalonan anggota legislatif yang pernah menjadi mantan narapidana korupsi oleh partai politik menunjukkan demokrasi yang ada di Indonesia hanya sebatas prosedural.
Publik dikejutkan 41 orang anggota DPRD Kota Malang ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan nominal suap yang terbilang kecil. Kesaksian di persidangan mengenai seluruh anggota DPRD Provinsi Jambi periode 2014-2019 turut menerima uang ketok palu untuk pengesahan APBD kembali membuat miris.
Kejadian ini bukan hanya sekali. Sebelumnya, ada 50 anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara periode 2014-2019 dan periode 2009-2014 ditahan KPK. Pada 2015, sebanyak 10 anggota DPRD Kabupaten Musi Banyuasin periode 2014-2019 juga menjadi tersangka karena perkara suap APBD. Jauh sebelum itu, pada 2004, kejaksaan juga menangani 40 anggota DPRD Provinsi Sumatera Barat. Di DPR RI, sebanyak 30 orang anggota DPR RI periode 1999-2004 juga terseret dalam kasus cek pelawat.
“Kenyataan tersebut membuktikan politik Indonesia sebatas demokrasi prosedural dan melandaskan diri pada hak politik belaka. Politik dan demokrasi mengabaikan nilai dan moralitas bangsa yang hidup di negeri ini yang berbasis pada agama, Pancasila, dan budaya luhur bangsa. Nilai moral kepatutan menjadi nisbi dan dinihilkan,” ujar Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir saat dihubungi Kompas, Jumat (7/9).
Partai politik yang menjadi sumber permasalahan juga terkesan abai. Menurut Haedar, persoalan politik di negeri ini seperti lingkaran setan.
“Parpol jadi bebal karena diback-up oleh berbagai undang-undang yang menjadikan dirinya kuat dan oligarkis. Undang-undang yang dibikin juga oleh mereka sendiri di parlemen. Akibatnya, parpol dan elite parpol merasa digdaya, sehingga kritik dan masukan tidak akan mempan dengan dalih semuanya sesuai undang-undang,” imbuh Haedar.
Hal senada diungkapkan Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi Fakultas Hukum UGM Zainal Arifin Mochtar. Upaya perbaikan dan berbagai masukan untuk partai politik untuk mencegah terjadinya korupsi berulangkali disampaikan. Bahkan imbauan kepada masyarakat agar tidak memilih partai politik yang bermasalah hingga membuat daftar hitam partai sudah pernah dilakukan. “Alih-alih berubah, malah diperkarakan,” ungkap Zainal.
Munculnya Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2018 yang memuat aturan agar partai politik tidak mencalonkan kader yang merupakan mantan narapidana korupsi, lanjutnya, sempat memunculkan harapan. Namun pada akhirnya, aturan tersebut banyak menimbulkan resistensi sampai Badan Pengawas Pemilu turut mengabulkan gugatan para caleg mantan napi korupsi tersebut.
“Padahal sudah tanda tangan pakta integritas. Tapi memang berat karena partai politiknya yang tidak bisa komit. Didorong secara legal dan pengubahan undang-undang, ujung-ujungnya berhadapan juga dengan mereka. Memang sudah tidak bisa berharap banyak ke partai politik. Fakta oligark yang bermain. Kalau bicara masalah pendanaan mereka mau, tapi transparansinya mereka tidak mau,” kata Zainal.
Dana parpol
Secara terpisah, Ketua KPK Agus Rahardjo menyampaikan pihaknya pernah memberikan rekomendasi kepada partai politik dari kajian yang disusun pihaknya bersama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Kajian tersebut dipicu mengenai pendanaan partai politik melalui negara yang perlu ditingkatkan besarannya.
Akan tetapi, naiknya pendanaan harus diikuti sejumlah perbaikan. Antara lain, perbaikan rekrutmen agar partai politik mengedepankan integritas dan potensi kemampuan sosok yang ingin bergabung di partai politik. Kemudian, sistem kaderisasi juga mendesak dibenahi.
“Jenjang pengkaderan harus didasarkan kepada merit system yang berdasar kepada integritas dan kinerja,” ujar Agus.
Hal ini nantinya bisa berdampak pada kader yang akan diusung untuk menjadi anggota DPRD dan DPR, bahkan menteri. “Semestinya kader yang sudah lulus dari penilaian integritas dan kinerja dalam jangka waktu yang cukup lama yang bisa dicalonkan. Sangat mengherankan kalau kemudian yang diusulkan menjadi caleg adalah orang yang punya masalah dengan ntegritas. Pertanyaan selanjutnya, apakah sistem pengkaderannya gagal?” tutur Agus.
Namun hingga saat ini, rekomendasi yang diberikan KPK tersebut belum mendapat respon dengan aksi nyata dari partai politik.