JAKARTA, KOMPAS - Fokus pemidanaan terhadap kejahatan yang merugikan negara dan masyarakat, seperti korupsi, seharusnya tak lagi terfokus pada penghukuman pelaku. Pemulihan aset melalui perampasan barang-barang terkait tindak pidana perlu dimaksimalkan.
Data hasil penelitian Laboratorium Ilmu Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, menemukan, total aset hasil korupsi selama 2001-2015 sebesar Rp 203,9 triliun. Namun, jumlah yang berhasil dieksekusi baru sekitar Rp 21,26 triliun atau 10,42 persen. Penyebabnya, penyitaan aset atas nama orang lain tidak dapat dilakukan meski pembeliannya menggunakan uang dari pelaku korupsi.
Direktur Eksekutif Kemitraan Monica Tanuhandaru, Kamis (13/9/2018), di Jakarta, dalam diskusi Menggeser Fokus Pemidanaan dengan Pemulihan Aset, mengatakan, mekanisme hukum untuk mengembalikan seluruh aset hasil korupsi telah diatur di dalam dua undang-undang, yaitu Undang-Undang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN serta UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun, masih ada kendala dalam penerapannya.
”Kedua UU ini belum sepenuhnya menjawab persoalan kompleksitas kriminal. Sebab, masih terbatas pada pemulihan aset melalui mekanisme pidana dan terbatas pada aset atas nama tersangka,” kata Monica.
Seharusnya, menurut dia, penyitaan dapat dilakukan terhadap barang yang bukan milik tersangka atau terdakwa asalkan ada bukti pembelian menggunakan uang tersangka atau terdakwa.
Pembiaran
Monica menyampaikan, tak maksimalnya penyitaan aset hasil tindak pidana dapat memberikan kesan bahwa negara membiarkan uang hasil korupsi menyebar di berbagai aset. Hal ini bisa menyebabkan korupsi terus berlanjut dan munculnya anggapan bahwa ada kesengajaan memberikan perlindungan bagi para koruptor.
”Negara jangan hanya berfokus pada pemenjaraan, tapi juga harus memberikan efek jera dan merampas semua aset koruptor,” kata Monica.
Direktur Pemeriksaan, Riset, dan Pengembangan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Beren R Ginting mengatakan, perlu adanya pendekatan anti-pencucian uang. Sebab, pada dasarnya hasil kejahatan akan selalu dihilangkan jejaknya. Uang hasil korupsi akan diubah ke bentuk transaksi ataupun investasi yang seolah dibuat legal.
Oleh karena itu, menurut Beren, untuk mengoptimalkan penarikan semua hasil kejahatan, perlu bekerja sama sejak awal dengan PPATK. Penyidik seyogianya bekerja sama dengan PPATK untuk mengamankan aset tersebut sejak ada dugaan tindak pidana. Dengan begitu, tambahnya, segala bentuk transaksi para pelaku dapat ditelusuri.
Muji K Rahayu dari tim kajian hukum Kemitraan menyatakan, proses pemidanaan memang seharusnya tidak hanya menekankan kepada pelaku atau follow the suspect, tetapi juga follow the money atau mengikuti aliran dana.
”Tujuannya agar dapat menyita semua aset koruptor. Maka, dugaan kepemilikan aset koruptor harus dilakukan sejak penyelidikan sehingga proses pembuktian semakin cepat,” kata Muji.