JAKARTA, KOMPAS – Menjaga keutuhan bangsa bermodalkan kemajemukan suku, ras, budaya, bahasa, dan agama menjadi tanggung jawab semua masyarakat Indonesia. Maka, pengamalan Pancasila sebagai tali pemersatu kemajemukan menjadi lebih penting dibandingkan sekadar menghafal.
Anggota Akademik Ilmu Pengetahuan Indonesia Yudi Latif, mengatakan, kemajemukan di Indonesia seringkali membuat masyarakat sulit mencapai titik temu untuk kebahagiaan bersama. Hal ini disampaikan dalam pertemuan tokoh agama dan tokoh masyarakat Katolik tingkat nasional dengan tema “Tebarkan Kedamaian, Merawat Kebangsaan”.
“Maka, Pancasila berperan sebagai titik temu yang memungkinkan segala warna dan perbedaan bersatu, titik tumpu yang menjadi landasan hukum, serta titik tuju ke mana bangsa ini diarahkan,” kata Yudi, di Jakarta, Jumat (14/9/2018).
Dalam kesempatan yang sama, Gubernur Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK-PTIK) Inspektur Jenderal Polisi Sigid Tri Hardjanto, mengatakan, keragaman yang dimiliki masyarakat Indonesia merupakan suatu anugerah. Maka, perlu dikelola dengan baik agar senantiasa menjadi pemersatu bangsa.
“Dalam merawat kebhinekaan, kita harus kembali membiasakan untuk mengelola pembicaraan hal-hal sensitif. Tujuannya, agar tidak menjadi ancaman yang menciptakan sakit hati dan kemudian mengatakannya sebagai pelecehan agama,” kata Sigid.
Hal senada disampaikan oleh Ketua Komisi VIII DPR Ali Taher. Menurutnya, masyarakat Indonesia masih belum siap dengan guyonan yang mengaitkan dengan hal-hal keagamaan. Padahal, agama hadir untuk melakukan perjumpaan peradaban, bukan pertempuran peradaban.
“Keadaan masyarakat sekarang sudah mulai kering. Ada rasa curiga, sehingga konflik diposisikan sebagai superior, merasa hanya dirinya lah yang paling benar. Masyarakat harus memahami, pada dasarnya agama mana pun mengajarkan sisi kemansiaan yang sama,” kata Ali.
Tak sekadar hafalan
Menurut Yudi, sebagai sebuah ideologi, Pancasila tidak dapat berhenti pada hafalan. Untuk membuatnya menjadi ideologi yang bekerja, ada isu strategis yang berguna membina penerapan nilai-nilai Pancasila.
“Salah satu isu strategisnya, pemahaman bahwa agama dan Pancasila dapat dibedakan, namun tak dapat dipisahkan. Sila pertama dapat diartikan, manusia harus meniru sifat Tuhan yang pada dasarnya mengajarkan kasih sayang, persatuan, dan toleransi,” kata Yudi.
Ali menambahkan, yang terpenting adalah bagaimana mengamalkan Pancasila dalam kehidupan. Semua manusia bermakna bagi siapa pun terlepas dari identitas dirinya. Maka, kita harus menghargai dan menghormati perbedaan pilihan, termasuk dalam hal menentukan agamanya.
“Marilah kita merajut kebangsaan ini dengan kejujuran dan ketulusan dalam konsep rasa kemanusiaan. Milikilah pandangan bahwa semua orang baik dan tebarkanlah kedamaian karena setiap perkataan memiliki nilai ketika ada perbuatan,” kata Ali.
Pembinaan
Bergantinya Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKPPIP) menjadi BPIP, membuat kewenangannya sebagai lembaga pemerintah non-kementerian semakin besar. Hal ini disampaikan oleh Deputi Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Bidang Pengendalian dan Evaluasi Sony Y Soeharso.
“Kalau UKPPIP kan lembaga pemerintah non-struktural, fungsinya terbatas pada koordinasi dan sinkronisasi dengan kementerian dan lembaga. Sekarang, sebagai lembaga pemerintah non-kementerian, BPIP dapat mengeksekusi program sendiri,” kata Sony.
Namun, struktur anggota BPIP sedang dalam proses penyusunan. Para pimpinan BPIP masih memproses untuk menetapkan deputi, direktur, kepala biro, kepala bagian, dan tenaga ahli. Sony menyampaikan, diharapkan penyusunan struktur selesai pada Oktober 2018.
“Setidaknya ada tiga program yang siap dilaksanakan pada awal tahun 2019 yaitu, membangun agen-agen Pancasila yang akan terlibat langsung dalam kegiatan bermasyarakat. Kedua, menentukan arah kebijakan negara dengan memperluas pengetahuan masyarakat akan Pancasila,” kata Sony.
Program yang tak kalah penting adalah mengawal, memastikan, dan memberi rekomendasi dalam proses legislasi bahwa semuanya harus didasarkan pada nilai-nilai Pancasila. Sebab, Pancasila harus menjadi sumber dari segala sumber hukum. (SHARON PATRICIA)