JAKARTA, KOMPAS Putusan Mahkamah Agung yang membatalkan Peraturan KPU Nomor 20/2018 dan Nomor 26/2018, yang melarang bekas narapidana perkara korupsi menjadi calon anggota legislatif, jadi preseden buruk bagi sistem hukum di Tanah Air. Putusan MA tersebut ditengarai menabrak sejumlah aturan hukum, seperti Pasal 55 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi serta Putusan MK Nomor 93/PUU-XV/2017.
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia Satya Arinanto, Sabtu (15/9/2018), saat dihubungi dari Jakarta, mengatakan, MA seharusnya tidak memutus uji materi dua peraturan KPU itu. Ini karena UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang menjadi dasar pengujian dua peraturan KPU itu, saat ini masih diuji di MK.
Hal ini sejalan dengan isi Pasal 55 UU No 24/2003 yang berbunyi, ”Pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang sedang dilakukan Mahkamah Agung wajib dihentikan apabila undang-undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian Mahkamah Konstitusi sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi”.
”Sebagai salah satu orang yang 15 tahun lalu membantu penyusunan UU No 24/2003, waktu itu memang dirumuskan adanya norma sebagaimana diatur dalam Pasal 55 UU MK. Artinya, apa pun pasal yang dijadikan dasar uji materi, asalkan UU yang sama itu sedang diuji di MK, maka uji materi di MA harus menunggu putusan uji materi di MK,” tutur Satya.
Namun, dalam perkembangannya, ada dua tafsir terkait Pasal 55 UU MK. Satu tafsir seperti disampaikan Satya. Tafsir lain, MA bisa memutus uji materi ketentuan di bawah UU sekalipun UU itu sedang diuji di MK, sepanjang norma atau pasal yang diuji di MA dan MK tidak sama.
”Tidak otomatis UU yang sedang diuji di MK tidak boleh diuji di MA. Harus dilihat dulu materinya (pasalnya), sama atau tidak. Jika ternyata pasalnya berbeda, sekalipun sama UU-nya, tidak masalah diputus oleh MA,” kata mantan Ketua MK Hamdan Zoelva.
Saat ini, ada empat permohonan uji materi terhadap UU Pemilu di MK, yakni terkait ambang batas pencalonan presiden, masa jabatan wakil presiden, dana kampanye, dan pengertian citra diri dalam kampanye. Materi uji materi UU Pemilu itu berbeda dengan materi dalam dua PKPU yang diajukan ke MA.
Tafsir kedua ini membuat Juru Bicara MK Fajar Laksono menyatakan, MK mempersilakan MA memutus terlebih dahulu uji materi atas PKPU No 20/2018 dan No 26/2018 tanpa menunggu putusan MK. ”UU Pemilu itu secara konsisten diajukan uji materi sehingga kalau MA menunggu putusan MK, sulit bisa dipastikan kapan uji materi PKPU itu bisa diputuskan oleh MA. Padahal, putusan MA ini menentukan proses pemilu selanjutnya,” ujarnya.
Dengan tafsir kedua atas Pasal 55 UU MK itu, pada Kamis lalu MA memutus uji materi atas PKPU No 20/2018 dan No 26/2018.
Desakan
Satya melihat, cepatnya MA mengeluarkan putusan terkait uji materi atas dua PKPU itu karena adanya desakan dari sejumlah pihak, termasuk partai politik, caleg, KPU, Bawaslu, dan pengamat politik. Hal ini dapat berdampak buruk di masa depan. Di kemudian hari, MA bisa mengeluarkan putusan terlebih dahulu walau ada potensi melanggar Pasal 55 UU MK.
Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Jember Bayu Dwi Anggono juga menilai, putusan MA tersebut bisa menjadi preseden buruk bagi negara hukum. Putusan MA itu dapat mendegradasi kepercayaan publik terhadap UU.
”UU bisa dengan mudah ditafsirkan sesuka hati, sesuai kepentingan masing-masing, dan tidak sesuai dengan maksud asal UU itu dibentuk. Kondisi ini membahayakan negara hukum karena tidak ada kepercayaan kepada hukum itu sendiri. Suatu ketentuan yang terang benderang telah ditabrak,” ucap Bayu.
Sementara itu, Juru Bicara MA Suhadi mengatakan, putusan MA terkait uji materi atas PKPU No 20/2018 dan No 26/2018 bersifat final dan mengikat. KPU sebagai pihak termohon harus melaksanakan isi putusan itu.
Anggota KPU, Viryan Azis, mengatakan, KPU belum menerima putusan MA secara utuh. ”Setelah menerima putusan dari MA, kami akan menindaklanjutinya dalam rapat pleno. Kami juga akan melalukan uji publik dan rapat dengar pendapat di Komisi II DPR,” tuturnya.
Sejauh ini, ada 30 bakal caleg dari sejumlah parpol dengan latar belakang bekas narapidana perkara korupsi yang sudah dicoret oleh KPU. Jumlah itu masih mungkin berubah hingga penetapan daftar calon tetap pada 20 September.
Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini menyebutkan, putusan MA itu harus dihormati. Namun, putusan itu secara tidak langsung menyiratkan tak adanya dukungan dari lembaga peradilan terhadap harapan masyarakat agar Pemilu 2019 bersih dari korupsi. (REK/E05/IAN)