Program kerja untuk merevitalisasi Pancasila belum dibarengi dengan upaya konkrit oleh elite untuk mengimplementasikan dan meneladani Pancasila dalam keseharian
JAKARTA, KOMPAS - Revitalisasi pemahaman Pancasila untuk memperkuat kehidupan berbangsa dan bernegara dinilai masih sekedar wacana yang dijalankan para elite bangsa. Selain itu, generasi muda juga kekurangan panutan untuk menjalankan nilai Pancasila di kehidupan sehari-hari, sebab para tokoh politik justru menunjukkan praktek pengkhianatan Pancasila.
Menurut Direktur Eksekutif Maarif Institute M Abdullah Darraz, pasca reformasi masyarakat cenderung alergi terhadap Pancasila karena Orde Baru menggunakan Pancasila sebagai alat ideologi kekuasaan. Lalu, upaya merevitalisasi Pancasila mulai dilakukan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan pemerintah melalui Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).
Namun, lanjut Darraz, upaya yang dilakukan MPR dan BPIP belum cukup mengakar di masyarakat akar rumput. Masyarakat belum menjadi sorotan program revitalisasi Pancasila.
“Program kerja untuk merevitalisasi Pancasila belum dibarengi dengan upaya konkrit oleh elite untuk mengimplementasikan dan meneladani Pancasila dalam keseharian,” tutur Darraz di Jakarta, Minggu (16/9/2018).
Darraz mengungkapkan, praktik pengkhianatan Pancasila masih ditunjukkan oleh para elite, misalnya korupsi, fragmentasi sosial demi kemenangan di kontestasi politik, serta belum terwujudnya keadilan sosial bagi rakyat. Persoalan itu, tambahnya, menjadi bukti nyata tidak hidupnya nilai-nilai Pancasila dalam denyut nadi bangsa.
Tidak adanya teladan menunjukkan kehidupan Pancasila bagi generasi milenial juga diperparah dengan internalisasi Pancasila yang belum menyeluruh dilakukan di lembaga pendidikan.
“Dua hal itu menyebabkan masyarakat, terutama generasi muda, kehilangan prototipe bagaimana seharusnya Pancasila itu dilakukan,” katanya.
CEO Alvara Institute Hasanuddin Ali juga berpendapat serupa. Pancasila, kata Hasanuddin, masih sekedar wacana, sehingga upaya membumikan Pancasila belum menyentuh hal-hal fundamental dan konkret untuk mengatasi masalah keseharian masyarakat.
“Karena itu, tidak heran Pancasila hingga kini hanya menjadi konsumsi para elite, baik pemerintah maupun oposisi,” tutur Hasanuddin.
Pancasila masih sekedar wacana, sehingga upaya membumikan Pancasila belum menyentuh hal-hal fundamental dan konkret untuk mengatasi masalah keseharian masyarakat.
Berdasarkan hasil riset Alvara Institute, Oktober 2017, sebanyak 81,3 persen pelajar, kemudian 83,2 persen mahasiswa, serta 84,4 persen kaum profesional menilai Pancasila sebagai ideologi paling cocok bagi Indonesia. Dari jumlah itu terungkap bahwa terdapat dua digit persen masyarakat yang menilai Pancasila pantas diganti dengan ideologi lain.
Akselerasi
Belum efektifnya kerja BPIP, menurut Hasanuddin, disebabkan struktur organisasi badan itu diisi oleh para generasi tua yang tidak memahami karakter dan perilaku generasi milenial yang kini mulai mendominasi jumlah populasi di Indonesia. Atas dasar itu, ia menilai BPIP perlu melibatkan pula tokoh-tokoh muda untuk menggelorakan pemahaman Pancasila.
“Generasi milenial cenderung kurang tersentuh pendidikan Pancasila sejak dini. Untuk itu, perlu ada akselerasi pendidikan Pancasila bagi mereka,” katanya.
Darraz menyarankan, pemerintah menghadirkan sosok anak bangsa yang mengerti dan mendalami Pancasila secara otentik sekaligus yang tangguh untuk menanggung beban berat perjuangan menghidupkan nilai-nilai Pancasila.
“Kerja menghidupkan Pancasila tidak boleh dinodai menjadi monopoli alat hegemoni kepartaian,” ujar Darraz.
Deputi Kepala BPIP Bidang Pengendalian dan Evaluasi Sony Y Soeharso menuturkan, terdapat tiga program yang akan dilaksanakan pada awal 2019. Pertama, menyiapkan agen-agen Pancasila yang akan terlibat dalam kegiatan bermasyarakat. Kedua, menentukan arah kebijakan negara dengan memberi pengetahuan Pancasila kepada masyarakat. Terakhir, pemberian rekomendasi dalam proses legislasi agar kebijakan hukum berlandaskan Pancasila (kompas.id, 15/9/2018).