JAKARTA, KOMPAS Anggota DPRD Provinsi Jambi diduga telah biasa menerima uang ”ketok palu” atau imbalan untuk memperlancar pembahasan sekaligus persetujuan terhadap APBD setempat. Bahkan, ada pengakuan dari anggota DPRD Provinsi Jambi bahwa uang ketok palu itu sudah ada sejak 2009, atau ketika jabatan gubernur Jambi dipegang Zulkifli Nurdin.
Empat anggota DPRD Provinsi Jambi, yakni M Juber, Mayloeddin, Popriyanto, dan Ismet Kahar, menyampaikan hal ini saat bersaksi untuk terdakwa Gubernur Jambi nonaktif Zumi Zola di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin (17/9/2018). Sebagian anggota DPRD itu juga sudah mengembalikan uang yang diterimanya ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Pada persidangan yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Yanto, Juber mengungkapkan, uang sebesar Rp 700 juta yang menjadi jatah tujuh anggota Fraksi Partai Golkar terkait untuk pengesahan RAPBD 2018 sudah diserahkan kepada KPK. Untuk pengesahan RAPBD 2017, Juber mengembalikan Rp 185 juta dan Popriyanto menyerahkan Rp 175 juta. Begitu pula dengan Ismet.
Setiap saksi pun mengakui bahwa uang ketok palu merupakan hal yang biasa dan disebut telah menjadi tradisi tahunan yang apabila tidak dipenuhi, para anggota tidak bersedia hadir dalam rapat paripurna pengesahan APBD. Mayloeddin bahkan bercerita, selama sembilan tahun duduk di parlemen, uang ketok palu selalu dipenuhi kepala daerah.
Sementara Mayloeddin mengaku belum melaporkan penerimaan jatah yang diterimanya untuk pengesahan RAPBD 2017. ”Saya tidak tahu mereka kembalikan. Saya baru tahu saat sidang ini. Kalau semua kembalikan, ya, insya Allah,” ujarnya.
Namun, keputusan mengembalikan uang itu ternyata tak mudah. Juber mengaku diajak oleh anggota DPRD Provinsi Jambi dari Fraksi PDI-P, Elhelwi, untuk tidak mengembalikan uang yang diterimanya. ”Tapi, kami Fraksi Golkar tetap kembalikan,” kata Juber.
Setiap saksi pun mengakui bahwa uang ketok palu merupakan hal yang biasa dan disebut telah menjadi tradisi tahunan yang apabila tidak dipenuhi, para anggota tidak bersedia hadir dalam rapat paripurna pengesahan APBD. Mayloeddin bahkan bercerita, selama sembilan tahun duduk di parlemen, uang ketok palu selalu dipenuhi kepala daerah.
”Sepengetahuan saya, selama sembilan tahun di DPRD dari 2009, tahun 2018 ini jadi krusial. Dari 2009, sudah seperti itu (ada uang ketok). Enggak ada masalah, semuanya seperti air mengalir, tenang. Baru pada 2018 ini ada badai,” ujar Mayloeddin.
Mengacu pada dakwaan, permintaan pimpinan dan anggota DPRD untuk RAPBD 2018 sempat terhambat karena pihak yang diminta mengurus, yaitu Erwan Malik dan Arfan, berdalih hanya berstatus pelaksana tugas jabatan yang membuat mereka tak leluasa untuk mengeksekusi permintaan uang ketok palu. Hingga akhirnya muncul ancaman para anggota Dewan tak akan menghadiri rapat paripurna pengesahan RAPBD.
Zumi Zola justru berterima kasih atas kesaksian mereka. ”Saya tidak menolak (kesaksian). Saya juga tidak bisa menyampaikan banyak karena saya baru tahu dari tangan siapa. Saya ucapkan terima kasih yang sudah berikan fakta di sidang. Tapi, sepengetahuan saya, uang ketok palu ada sejak 2016,” ungkapnya.
ASN korupsi
Sementara Zumi Zola menghadapi persoalan hukum sehingga berstatus gubernur nonaktif, Provinsi Jambi kesulitan memberhentikan langsung 44 pegawainya yang berstatus terpidana korupsi. Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Fachrori tidak memiliki kewenangan memberhentikan ke-44 aparatur sipil negara (ASN) tersebut.
Sekretaris Daerah Provinsi Jambi M Dianto, mengatakan, Plt Gubernur tak berwenang memberhentikan ASN. Menurut dia, Pemprov Jambihanya bisa mengusulkan pemberhentian itu kepada Menteri Dalam Negeri. Pihaknya menerima laporan dari Badan Kepegawaian Nasional perihal 44 ASN di Provinsi Jambi yang merupakan terpidana kasus korupsi. Dengan data tersebut, BKD setempat masih melakukan verifikasi nama-nama ASN terkait.
“Data dari pusat langsung dicek dengan data yang kami miliki,” tambahnya. Setelah itu, barulah nama-nama ASN terkait diusulkan kepada BKN wilayah Sumatera untuk segera diberhentikan.