Banyak Kejanggalan dalam Hitung Ulang di Timor Tengah Selatan
Oleh
Rini Kustiasih
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Mahkamah Konstitusi menyoroti adanya sejumlah kejanggalan dalam penghitungan suara ulang di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. Mahkamah antara lain mempertanyakan penggunaan karton dan kertas kardus yang dijadikan media penghitungan menggantikan formulir C1 Plano di tempat pemungutan suara.
Sesuai dengan putusan MK dalam perkara Nomor 61/PHP.BUP-XVI/2018 yang dibacakan pada 29 Agustus, MK memerintahkan KPU Timor Tengah Selatan (TTS) agar melakukan penghitungan suara ulang Pilkada 2018. Namun, pada kenyataannya, dalam laporan yang disampaikan oleh penyelenggara pilkada dalam sidang lanjutan MK, Selasa (18/9/2018), KPU TTS baru pada tahap pencocokan data pada formulir model C1-KWK asli berhologram dan formulir model C1.Plano-KWK asli berhologram, tetapi tidak melakukan penghitungan suara ulang sebagaimana amar putusan MK.
Dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman, kemarin, hakim konstitusi Saldi Isra mempertanyakan tindakan KPU TTS yang ternyata tidak mengikuti amar putusan MK untuk melakukan penghitungan suara ulang, melainkan hanya melakukan pencocokan data. “Yang kedua, apa yang menjadi dasar Saudara kemudian tidak mengkalkulasikan? Pencocokan sudah dilakukan dan sudah dilaporkan dengan baik, mengapa pada akhirnya KPU sampai kepada kesimpulan tidak melakukan kalkulasi atau penghitungan? Apa yang menjadi dasar hukum Saudara seperti itu?” kata Saldi.
Pertanyaan juga diutarakan oleh hakim konstitusi Suhartoyo yang mendapatkan informasi adanya penggunaan media lain untuk menggantikan formulir C1 Plano. KPU TTS dalam melaksanakan pencocokan data ternyata sebagian menggunakan media kardus dan kertas karton sebagai media penghitungan suara.
“Persoalannya apa sehingga bisa terjadi ada C1-KWK maupun C1 Plano yang tidak berhologram itu? Sehingga sampai ada yang kemudian medianya pakai kardus, pakai karton, persoalannya apa itu? Ya, ada kan, peraturan PKPU-nya bahwa yang berhologram itu adalah merupakan sertifikat untuk memediakan suara itu,” tanya Suhartoyo.
Badan Pengawasan Pemilu juga mendapati sejumlah kesulitan dalam pencocokan dan penghitungan data. Kunci gembok kotak suara disimpan dalam satu tempat atau dicampur, sehingga penyelenggara kesulitan untuk membuka kota suara itu kembali. Untuk memudahkan pengerjaan pencocokan data dan penghitungan ulang, akhirnya penyelenggara pemilu menggergaji gembok.
Bahwa dalam proses pencocokan data itu, Bawaslu mendapati Formulir C1-KWK asli berhologram dan C-1 Plano KWK asli berhologram berada di luar kotak suara, dan dipegang oleh penyelenggara, yakni KPU, Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), dan Panita Pemungutan Suara (PPS).
Kuasa hukum KPU TTS Ali Nurdin mengatakan, penghitungan suara tidak dilakukan dan diserahkan penilaiannya kepada mahkamah. Alasannya, ada sejumlah media penghitungan yang tidak sesuai dengan ketentuan atau peraturan KPU. Adanya media hitung seperti karton dan kardus itu menimbulkan perbedaan pendapat di antara pasangan calon, sehingga KPU tidak lebih jauh melakukan penghitungan suara ulang.
“Kalau mengenai, kenapa sampai menggunakan media lain, karena C-1 Planonya oleh petugas KPPS tidak ditemukan dalam logistik. Jadi, di dalam kotak suara tidak ada sehingga menggunakan media lain,” kata Ali.
Menurut Ali, ada kelalaian dalam distribusi logistik, sehingga mengakibatkan C-1 Plano tidak ditemukan di dalam kotak suara. Hal itu telah ditelusuri oleh KPU setempat, dan sebagai jalan keluar maka KPPS menggunakan media hitung lain seperti karton atau kardus untuk melakukan penghitungan suara.
Ali juga mengemukakan adanya kesulitan KPU TTS memenuhi persyaratan anggota KPPS harus lulusan SLTA. Akibatnya, banyak anggota KPPS yang bukan lulusan SLTA.
Terkait laporan pelaksanaan penghitungan suara ulang itu, para hakim MK masih akan merapatkannya di dalam rapat permusyawaratan hakim (RPH).