JAKARTA, KOMPAS – Presiden Joko Widodo kembali mengingatkan kekuatan persatuan bangsa. Setiap elemen bangsa diharap menjaga kerukunan dan persatuan tersebut. Asian Games adalah salah satu momentum yang menunjukkan kekuatan persatuan dan saat semua perbedaan luruh.
Pesan-pesan ini disampaikan Presiden Joko Widodo saat membuka Musyawarah Nasional Persatuan Umat Buddha Indonesia (Permabudhi) di Istana Negara, Jakarta, Selasa (18/9/2018). Dalam acara ini, Presiden Jokowi didampingi Presiden kelima RI Megawati Soekarnoputri, Menteri Sekretaris Negara Pratikno, dan Ketua Umum Permabudhi Arief Harsono. Hadir pula sekitar 400 orang biksu, biksuni, maupun pengurus majelis-majelis agama Buddha. Permabudhi adalah forum komunikasi bersama umat Buddha. Adapun Munas Permabudhi berlangsung sampai hari ini (19/9/2018).
Kenyataan bahwa Indonesia adalah negara besar dengan penduduk yang sangat majemuk membuka sambutan Presiden. Anugerah keberagaman ini menjadi aset terbesar bangsa dan menjadi kekuatan ketika persatuan terjaga.
Presiden mencontohkan, ketika Asian Games, semua bersatu mendukung atlet-atlet Indonesia yang berjuang keras memberikan prestasi terbaik untuk negaranya. Tak ada seorangpun yang memikirkan atlet tersebut berasal dari pulau apa, dari provinsi mana, berlatar agama ataupun suku apa.
“Ketika menonton badminton, kita nggak mikir agama (atletnya) apa. Atlet pencak silat dan panjat tebing dari provinsi mana, dari pulau mana, nggak dipikirkan. Saat itu kita hanya memikirkan satu, kita ini Indonesia. Dan akhirnya, dapat 31 emas dan ranking empat besar,” tutur Presiden disambut tepuk tangan hadirin.
Oleh karenanya, Presiden mengajak mengajak semua elemen masyarakat untuk terus merawat persatuan dan kesatuan, kerukunan, serta persaudaraan. Tak semestinya pesta demokrasi yang hanya lima tahun sekali mengakibatkan silaturahmi putus. Presiden berseloroh bahwa setelah Pemilu Presiden 2014 berlalu sekitar empat tahun, masih ada saja yang tak saling sapa akibat perbedaan pilihan politik.
Kepala Sangha pada Sangha Theravada Indonesia (STI) YM Bhikkhu Sri Pannavaro Mahathera menambahkan, untuk mengatasi berbagai isu SARA yang dimanipulasi dalam Pemilu, pemuka agama perlu terus menyuarakan dan menyebarkan kasih sayang yang tulus untuk menjaga kerukunan dan harmoni bangsa. Pilihan politik boleh berbeda, tetapi tak sebanding harganya bila harus merusak kemanusiaan dan kebersamaan sebagai saudara sebangsa dan setanah air.
“Sangat tidak bijak bila membiarkan even lima tahunan merusak persatuan. Mari kita menjadi umat beragama yang dewasa,” katanya.
Sekretaris Jenderal Sangha Agung Indonesia (SAGIN) YM Bhiksu Nyanasila Thera menambahkan, semua pihak harus berkomunikasi secara terbuka dan menepis kecurigaan-kecurigaan yang ada. Dengan komunikasi, semua akan bersama-sama bersatu dan ikut serta membangun Indonesia. Komunikasi serupa diharapkan terbangun lebih kuat antara umat Buddha dengan pemerintah.
Para pemuka agama lintas agama dan kepercayaan pun, tambah Bhiksu Nyanasila, aktif mendorong implementasi cinta tanah air dalam Persaudaraan Cinta Tanah Air (PCTAI). Salah satunya membumikan bhinneka tunggal ika, semboyan negara yang berasal dari gubahan Mpu Tantular, seorang guru Dharma asal Indonesia. Bhinneka tunggal ika terdapat dalam karya Mpu Tantular yang digubah dari kitab Buddhis Jataka, Maha Sutasoma.
Hal kecil
Kendati persatuan lebih penting, Presiden Joko Widodo mengatakan kerap kali publik lebih banyak meributkan hal-hal kecil seperti perdebatan soal stuntman saat Presiden ikut meramaikan pembukaan Asian Games 2018 dengan membuat rekaman akrobatik dengan sepeda motor. “Ya mesti pakai stuntman. Masak presiden (di)suruh meloncat kayak gitu. Nggak mungkin. Di film, peran kecil-kecil juga pakai stuntman, masak akrobat disuruh sendiri. Kalau anak muda sekarang bilang, gila lo ndro,” seloroh Presiden disambut tawa hadirin.
Selain itu, energi bangsa dinilai kerap dihabiskan untuk saling mencela, menebar kabar bohong dan fitnah di media sosial. Hal-hal seperti ini semestinya ditinggalkan dan semua mencurahkan perhatian pada pekerjaan besar seperti mengatasi kemiskinan dan kesenjangan.
Waktu dan energi juga semestinya tak disia-siakan dengan hal-hal kecil seperti disebutkan di atas. Sebab, kata Presiden, perubahan dunia bergerak sangat cepat. Kemajuan teknologi membuat semua harus berkejaran dalam kompetisi. Untuk itu, hidup rukun, bersatu, dan saling membantu lebih penting ketimbang mengutamakan kepentingan kelompok dan golongan.