JAKARTA, KOMPAS — Calon anggota legislatif pada Pemilu 2019 cenderung tertutup jika dibandingkan dengan caleg pada Pemilu 2014. Hal ini ditandai dengan banyaknya caleg yang menolak untuk memublikasikan riwayat hidupnya dalam situs resmi Komisi Pemilihan Umum. Kondisi ini menyulitkan publik untuk menakar dan melihat rekam jejak para calon wakil rakyat.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini, Minggu (23/9/2018) di Jakarta, mengatakan, saat ini lebih sulit untuk memetakan rekam jejak pada caleg lantaran banyak dari mereka yang menolak untuk memublikasikan riwayat hidup mereka secara jelas.
Kalaupun ada yang bersedia memampang riwayat hidup, sebagian besar hanya berisikan hal-hal dasar, seperti nama, alamat, dan pekerjaan. Adapun hal-hal detail yang seharusnya berhak diketahui publik, seperti rekam pekerjaan, jejaring, dan aktivitas yang dilakoninya, banyak tidak dicantumkan.
”Dari sisi keterbukaan caleg, ada penurunan dibandingkan dengan caleg tahun 2014. Dulu, publik bisa mengakses profil dan riwayat hidup caleg saat masih daftar caleg sementara (DCS). Namun, sekarang sudah DCT saja masih susah melihat rekam jejak mereka karena banyak yang tidak memublikasikan,” ujar Titi.
Publikasi riwayat hidup caleg itu memang sukarela atau tidak ada kewajiban. Namun, menurut Titi, hal itu bisa menjadi salah satu jalan masuk bagi publik untuk mengenal caleg mereka sehingga tidak membeli kucing dalam karung. Banyaknya caleg yang tidak bersedia membuka riwayat hidup mereka juga menggambarkan karakter caleg tahun 2019 yang cenderung tertutup kepada publik.
”Kalau sejak awal caleg itu menutup-nutupi riwayat hidupnya, dan tidak mau dibuka di masyarakat, hal ini menjadi tendensi bahwa mereka menyembunyikan sesuatu, atau tidak mau terbuka kepada publik,” kata Titi.
Karakter caleg yang tertutup ini menurunkan derajat akuntabilitas mereka jika terpilih sebagai wakil rakyat. Publik khawatir ketertutupan ini dibawa dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan publik. ”Sifat ketertutupan itu dalam konteks kerja-kerja publik itu buruk, sebab rentan pada kesepakatan jahat, dan korupsi bisa muncul tanpa diketahui publik,” ujarnya.
Di sisi lain, Perludem menyoroti banyaknya caleg untuk DPR yang merupakan orang pusat, atau bertempat tinggal di Jakarta. Dari sisi komposisi calon wakil rakyat yang bertarung di daerah-daerah pemilihan, ternyata sebagian besar justru tinggal di Jakarta.
”Mayoritas calon itu dropping dari Jakarta, atau caleg yang domisilinya di Jakarta, meskipun mereka punya irisan-irisan sosial dan psikologi secara personal dengan daerah. Karena alasan merantau, misalnya, mereka pindah ke Jakarta, atau sekadar pernah tinggal di daerah itu. Tidak sedikit caleg yang didrop dari Jakarta untuk mengisi posisi-posisi di dalam daftar pencalonan, khususnya untuk caleg perempuan guna memenuhi kuota 30 persen,” kata Titi.
Di sisi lain, ada keuntungan juga dari sisi kebijakan untuk penentuan caleg dalam Pemilu 2019. Peraturan KPU yang melarang bekas napi korupsi menjadi caleg memberikan dampak positif kendati akhirnya peraturan itu dibatalkan Mahkamah Agung.
Adanya kebijakan itu menimbulkan kesadaran publik tentang masih banyaknya parpol yang mencalonkan bekas napi korupsi. Diskursus publik soal bekas napi korupsi yang menjadi caleg pun muncul, sedangkan hal itu sebelumnya tidak banyak disadari. Hasil dari ketentuan itu ternyata ada dampak positifnya karena ada sebagian parpol yang konsisten tidak mengajukan bekas napi korupsi sebagai caleg, yakni Nasdem, PSI, PKB, dan PPP.
”Ini ternyata penting sebab menggantungkan semata-mata pada itikad baik parpol tidak mencukupi. Ketika keran itu dibuka, parpol rupanya masih ada yang mengajukan bekas napi korupsi sebagai caleg. Kondisi ini menjadi landasan urgensi pentingnya membawa substansi PKPU itu ke dalam norma UU Pemilu selanjutnya,” kata Titi.
Mantan anggota KPU, Hadar Nafis Gumay, mengatakan, belajar dari pengalaman KPU pada Pemilu 2014, banyak juga caleg yang tidak bersedia memublikasikan riwayat hidupnya. Dengan alasan itu, KPU mengumumkan nama-nama mereka.
”Karena KPU mengumumkan mereka yang tidak mau membuka riwayat hidup, akhirnya publik protes. Parpol kemudian mengambil kebijakan untuk membuka semua. Mereka meminta KPU untuk memublikasikan riwayat hidupnya sekalipun anggotanya tersebut menyatakan tidak bersedia,” ujarnya.