JAKARTA, KOMPAS – Proses demokratisasi di Indonesia yang salah satunya diwujudkan dalam bentuk penyelenggaraan pemilihan umum membutuhkan biaya yang tidak sedikit, bahkan cenderung terus meningkat. Agar tak muncul ketidakpercayaan publik terhadap demokrasi, maka sistem itu harus bisa dijalankan efektif, dengan memilih calon terbaik yang bisa bekerja untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Penyelenggaraan tahapan pemilihan umum dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada Pemilu 2019, dianggarkan Rp 27,3 triliun untuk tiga tahun, yakni 2017, 2018, dan 2019. Anggaran itu di luar anggaran rutin KPU yang mencapai Rp 5,8 triliun. Sebagai pembanding, pada Pemilu 2014, KPU mendapat anggaran tahapan pemilu pada 2012, 2013, dan 2014, sebesar Rp 20,3 triliun dan Rp 3,6 triliun untuk anggaran rutin KPU.
“Kenaikan anggaran (dibanding 2014) disebabkan ada beberapa harga satuan yang naik seperti honorarium badan penyelenggara pemilu ad hoc, kenaikan standar harga satuan biaya masukan, kenaikan jumlah penyelenggara ad hoc, dan kenaikan karena inflasi harga pasar,” kata Sekretaris Jenderal KPU Arif Rahman Hakim di Gedung KPU di Jakarta, Selasa (25/09/2018).
Kendati begitu, dia menegaskan, tidak semua anggaran digunakan. Misalnya, pada Pemilu 2014, ada penghematan anggaran Rp 2,9 triliun karena pemilihan presiden hanya dilakukan satu putaran. Penghematan anggaran Pemilu 2019 juga diperkirakan mencapai Rp 10,6 triliun setelah pemilihan presiden bisa dipastikan berlangsung satu putaran karena hanya ada dua pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Sementara itu, anggaran Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) pada Pemilu 2019 juga naik dibandingkan untuk Pemilu 2014. Ketua Bawaslu Abhan menuturkan, anggaran Bawaslu memang naik dari Rp 4,1 triliun menjadi Rp 8,6 triliun pada Pemilu 2019. Namun, kenaikan itu disebabkan, baru pada Pemilu 2019, ada pengawas di tingkat tempat pemungutan suara (TPS) yang jumlahnya mencapai sekitar 805.000 orang.
Selain itu, Bawaslu juga harus membiayai pelatihan saksi partai politik yang bisa berjumlah dua orang per TPS, dengan jumlah 16 partai politik nasional. Anggaran untuk sentra penegakan hukum terpadu kini juga melekat ke Bawaslu.
Efektifkan demokrasi
Ketua KPU Arief Budiman menuturkan, kebutuhan anggaran penyelenggaraan pemilu di Indonesia besar karena wilayahnya luas dengan sebagian lokasi sulit dijangkau dan jumlah pemilihnya besar. Menurut Arief, biaya besar merupakan risiko yang harus diambil ketika sudah disepakati bersama bahwa cara memilih pemimpin dilakukan melalui pemilihan umum.
Hanya saja, dia menilai dengan biaya besar itu, demokrasi harus benar-benar diefektifkan. Salah satunya dengan memilih calon yang terbaik untuk menduduki jabatan publik. Namun, hal ini hanya bisa dilakukan jika masyarakat aktif untuk mencari informasi mengenai rekam jejak calon yang maju dalam pemilu.
“KPU berupaya mempermudah masyarakat untuk mendapat akses informasi, sehingga hal ini bisa dimanfaatkan betul oleh pemilih untuk memilih orang terbaik,” kata Arief.
Pengajar komunikasi politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Gun Gun Heryanto menuturkan, perlu ada solusi untuk mengatasi penyebab biaya besar yang harus dikeluarkan peserta pemilu. Menurut dia, biaya politik menjadi besar karena pembelian suara pemilih yang dilakukan caleg. Selain itu, hal ini juga disebabkan ketidakterukuran strategi kampanye yang menyebabkan kandidat mengeluarkan banyak dana tetapi tidak terarah. Faktor ketiga, kata dia, ialah potensi adanya biaya transaksional pencalonan ke partai politik.
“Penyelenggara pemilu harus memastikan batasan dana kampanye. Selain itu, juga perlu edukasi ke masyarakat agar tidak permisif terhadap politik uang,” kata Gun Gun.