JAKARTA, KOMPAS – Mahalnya biaya demokrasi harus diimbangi dengan efektivitasnya dalam menghasilkan wakil rakyat yang berkualitas baik. Bila hal itu tidak terjadi, tingkat kepercayaan publik terhadap demokrasi akan menurun. Di sisi lain, politik berbiaya tinggi terus berusaha diatasi oleh negara dengan menanggung sebagian dari biaya kampanye dalam pemilu.
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik (Puskapol) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Aditya Perdana, Selasa (25/9/2018) di Jakarta mengatakan, ada kecenderungan publik tidak percaya terhadap demokrasi setelah melihat praktek yang berjalan selama ini ternyata belum seperti yang diharapkan. Maraknya politik uang di dalam kontestasi pilkada maupun pemilu menjadi salah satu gambaran rasionalitas pemilih dalam sistem demokrasi saat ini belum sepenuhnya tercapai. Hal itu membawa dampak buruk dengan terpilihnya orang-orang yang tidak berkualitas dan minim integritas.
“Kita telah sepakat untuk membuat sistem pemilu yang kemenangannya ditentukan dengan raihan suara terbanyak. Dengan sistem pemilu itu, segala cara akan dilakukan oleh para caleg untuk memenangi kontestasi, termasuk dengan menggunakan uang. Dalam konteks ini, distrust atau ketidakpercayaan publik kepada demokrasi itu mulai muncul,” kata Aditya.
Politik berbiaya mahal yang antara lain dipicu oleh politik uang itu membahayakan demokrasi. Sebab, motivasi pilihan pemilih menjadi sangat berorientasi uang. Pemilih di satu sisi juga sudah tidak percaya dengan adanya pilihan yang tulus atau berdasarkan pada kesamaan ideologi dan tujuan.
“Demokrasi akan terancam bila publik sudah tidak percaya dengan adanya kondisi ideal dan menganggap semua proses terkait demokrasi pasti berhubungan dengan uang,” ujarnya.
Tidak hanya publik yang terjebak dengan kondisi semacam itu. para caleg pun harus berhadapan dengan realitas politik yang kian mahal. Upaya untuk menang tanpa mengeluarkan uang adalah suatu utopia. Dan, dalam kondisi sekarang ini menjadi sesuatu yang mustahil.
“Saya pernah melatih beberapa caleg perempuan. Saya sampaikan kepada mereka agar bergantung pada kompetensi dan kemampuan mereka pribadi dan tidak mengandalkan politik uang. Pada kenyatannya, para caleg itu sadar dan tahu bahwasannya hal itu tidak mungkin saat ini. Untuk menjamin caleg sepenuhnya bersih dari politik uang sulit direalisasikan,” katanya.
Namun, di sisi lain pilihan untuk kembali kepada pemerintahan yang otoritarian bukan sesuatu yang diinginkan oleh publik. Demokrasi masih menjadi pilihan utama, karena dengan sejumlah kendala yang ditemui, demokrasi masih menjadi sistem yang terbaik. Publik melihat ada kemajuan pascareformasi, dan ada capaian-capaian tertentu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang dinikmati oleh publik di alam kebebasan yang demokratis.
“Dengan kondisi demokrasi yang belum sepenuhnya ideal sekarang, semua pihak memang seperti terperangkap,” katanya.
Pangkas biaya mahal
Ketua Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif Veri Junaidi mengatakan, sejumlah upaya yang dilakukan untuk memangkas politik berbiaya mahal telah membantu memberikan dorongan positif pada proses transisi demokrasi yang sedang dijalani oleh Indonesia. Hal itu seharusnya diimbangi dengan keseriusan parpol dalam mengajukan kader-kader terbaik untuk maju sebagai wakil rakyat. Di pihak lain, penegak hukum juga diharapkan tegas menindak siapa saja yang korupsi, termasuk pada anggota legislatif dan kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat.
“Tantangan paling besar memang mengalahkan distrust (ketidakpercayaan) publik terhadap sistem demokrasi. Karena fenomena yang muncul adalah penangkapan terhadap wakil rakyat dan kepala daerah yang terpilih melalui proses demokrasi. Perbaikannya harus dilakukan dari hulu, yakni dari sistem pemilu dan parpol,” kata Veri.
Proses pemilu harus menjadi mekanisme atau ruang bagi publik menentukan pilihannya. Pemilu semestinya dilakukan dengan partisipatif, tidak berbiaya mahal dan tidak menumbuhsuburkan politik uang. Upaya negara menanggung sebagian biaya kampanye dinilai sebagai suatu tindakan perbaikan yang positif bagi demokrasi.
Menurut Veri, masih ada optimisme terhadap demokrasi dan kepercayaan terhadap demokrasi masih tinggi sebenarnya. Namun, beban untuk merawat demokrasi ini tidak boleh dibebankan smeata-mata hanya kepada penyelenggara negara dan penyelenggara pemilu. Elemen lain yang paling penting perananannya ialah parpol.
“Parpol punya beban jauh lebih besar untuk merawat demokrasi. Kalau tidak, parpol akan ditinggalkan. Oleh karena itu, beberapa hal yang terjadi belakangan ini (penangkapan kepala daerah dan wakil rakyat) harus menjadi perhatian parpol. Yang harusnya dilakukan oleh parpol ialah menghadirkan kader-kader yang tidak bermasalah secara hukum, bukan mantan napi, memiliki rekam jejak serta komptensi baik,” kata Veri.
Parpol ditantang untuk mewujudkan komitmen mereka mendorong pemilu yang bersih dan berkualitas. Tidak perlu lagi menggunakan politik bernuansan SARA, dan mengajukan caleg-caleg dengan rekam jejak buruk. “Bila jalan itu ditempuh oleh parpol, publik akan melihat demokrasi ternyata tidak memunculkan perpecahan, dan merupakan jalan paling aman dalam mengelola negara dan bangsa. Aktor utamanya untuk mewujdukan hal ini ialah parpol,” ujarnya.