JAKARTA, KOMPAS – Memasuki 20 tahun pascareformasi, demokrasi di Indonesia masih berjalan di tempat. Pasalnya, ada dua permasalahan yang dinilai berkontribusi pada stagnannya sistem demokrasi yaitu, korupsi dan intoleransi.
“Meski 73 persen warga menyatakan puas terhadap jalannya demokrasi, namun masih ada pemakluman terhadap korupsi. Sebesar 27 persen warga berpendapat, pemberian uang untuk memperlancar urusan dengan pemerintah adalah hal yang wajar,” kata Peneliti Senior Lembaga Survei Indonesia (LSI) Burhanuddin Muhtadi, di Jakarta, Senin (24/9/2018).
Hal ini disampaikan dalam rilis survei LSI dengan tema “Persepsi Publik tentang Demokrasi, Korupsi, dan Intoleransi di Indonesia”. Data ini bertentangan dengan ekspektasi masyarakat. Seharusnya, jika warga setuju dengan demokrasi, perilaku warga pasti antikorupsi.
“Namun, kenyataan di Indonesia, kita pro demokrasi dan pro korupsi. Selain dari penilaian warga bahwa menyogok itu wajar, perilaku korupsi aparat negara pun turut berperan. Khususnya bagi kepolisian dan pengadilan,” kata Burhan.
Berdasarkan hasil survei, 10,7 persen warga menyatakan berhubungan dengan polisi dan 33,7 persen di antaranya mengaku dimintai uang di luar biaya resmi. Sama halnya dengan pengadilan. Dari 2,4 persen warga yang menyatakan pernah berhubungan dengan pengadilan, 21,6 persennya mengaku dimintai uang untuk memperlancar proses pengadilan.
Koordinator Indonesia Corruption Watch Adnan Topan Husodo mengatakan, korupsi di Indonesia sudah menjadi jebakan sosial. Orang yang tidak melakukan korupsi akan menjadi korban dalam sistem korupsi yang telah dibangun selama ini.
“Untuk mengubah sistem korupsi, pimpinan tertinggi lembaga atau instansi pemerintah harus memaksa adanya perubahan sistem. Sebab, urusan ini tidak dapat diintervensi dari luar. Namun, apabila pelaku utama di pemerintah masih korupsi, maka harus dipotong melalui proses hukum,” kata Adnan.
Ubah persepsi
Menurut Adnan, ada yang menarik dari persepsi publik terhadap tingkat korupsi di Indonesia. Sebanyak 57 persen warga menyatakan korupsi di Indonesia meningkat. Namun, 54 persen warga juga menyatakan pemerintah serius dalam melawan korupsi.
“Meningkatnya korupsi di sebuah negara tidak bisa diukur dari banyaknya pelaku yang ditangkap penegak hukum. Seharusnya, dalam pandangan positif, keadaan ini menunjukkan semakin baiknya sistem penegakan hukum itu bekerja,” kata Adnan.
Dari hasil survei ini, Burhan menyimpulkan, tidak ada hubungan antara dukungan terhadap demokrasi dan perilaku mereka yang korupsi. “Terlepas dari angka apakah korupsi itu naik atau turun, kalau persepsi korupsi di mata publik itu naik, inilah yang secara politik lebih berbahaya,” katanya.
Intoleransi politik
Selain korupsi, persoalan intoleransi juga menjadi kendala dari kemajuan demokrasi, khususnya intoleransi politik. Burhan mengatakan, orang yang intoleran cenderung tidak mendukung demokrasi. Data survei menunjukkan, lebih dari 50 persen warga Muslim keberatan jika non-Muslim menjadi kepala pemerintahan.
“Toleransi merupakan bagian dari kaidah demokrasi. Sikap partisipasi dan pasifisme seharusnya menjadi jantung demokrasi. Sebab, demokrasi kita bukan didasarkan pada menang atau kalah tapi pada konsep kesetaraan,” kata Burhan.
Lebih lanjut, Burhan menegaskan bahwa Indonesia bukan negara Islam, bukan keumatan tapi kewarganegaraan. Maka, siapapun warganya, ia memiliki hak yang sama meskipun identitas politik, agama, dan budayanya berbeda.
Hal senada disampaikan oleh Ketua The Wahid Foundation Yenny Wahid. Menurutnya, sikap intoleransi ini harus menjadi kekhawatiran kita bersama. Memang pada kenyataannya, tirani terbentuk dari kelompok mayoritas. Namun, ini tidak boleh dibiarkan karena dapat mengoyak rasa persatuan.
“Kita harus ingat semangat menjadi bangsa Indonesia. Kita tidak disatukan oleh kesamaan etnis, bahasa, dan agama seperti banyak negara lain di dunia. Namun, kita disatukan oleh kesamaan rasa, ingin menjadi negara yang merdeka, dan bisa membawa kesejahteraan bagi bangsa. Inilah yang mengikat persatuan kita,” kata Yenny. (SHARON PATRICIA)