Wartawan melintas di depan salah satu ruangan yang disegel Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Dinas Pendidikan, Nganjuk, Jawa Timur, Rabu (25/10). KPK melakukan penyelidikan terhadap sejumlah Kepala Dinas di lingkungan pemerintah daerah setempat terkait dugaan tidak pidana korupsi berupa penerimaan suap pada perekrutan Pegawai Negeri Sipil (PNS) tahun 2017.
JAKARTA, KOMPAS - Pemberhentian 2.357 aparatur sipil negara yang terbukti korupsi melalui putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap atau inkracht masih terkendala. Meskipun surat keputusan bersama tiga menteri sudah ditandatangani, hal tersebut tidak serta-merta bisa digunakan untuk memberhentikan ASN pelaku korupsi.
Kepala Bidang Penegakan Disiplin Sumber Daya Manusia Aparatur Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan dan RB) Rosdiana mengatakan, ada dua faktor yang menjadi kendala pemberhentian ASN pelaku korupsi. Salah satunya, faktor kedekatan.
”Ada faktor kedekatan ASN korupsi dengan pejabat pembina kepegawaian (PPK), yaitu gubernur, bupati, dan wali kota. Hal ini membuat PPK sulit mengeluarkan surat keputusan pemberhentian,” kata Rosdiana di Jakarta, Jumat (28/9/2018).
Selain itu, ASN pelaku korupsi berdalih bahwa dirinya tidak terkena ketentuan Pasal 87 Ayat (4) Huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN. Pasal itu mengatur, pegawai negeri sipil diberhentikan dengan tidak hormat karena dihukum penjara atas tindak pidana kejahatan jabatan dan/atau tindak pidana umum. Mereka berdalih, perkaranya terjadi sebelum 2014 atau sebelum UU ASN lahir.
Padahal, menurut Asisten Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) Bidang Mediasi dan Perlindungan Andi Abubakar dalam diskusi ”Pemberhentian ASN Eks Terpidana Kasus Korupsi”, ketentuan pemberhentian PNS sudah ada sejak lama.
”Semua ASN pelaku korupsi harus diberhentikan tidak dengan hormat sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 32/1979 tentang Pemberhentian PNS,” kata Andi.
Persoalan lain, PPK belum juga memberhentikan para ASN korupsi. Hal ini terjadi meski sudah ada surat keputusan bersama (SKB) yang ditandatangani oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo, Menpan dan RB Syafruddin, serta Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Bima Haria Wibisana pada 13 September lalu.
Rosdiana menyatakan, apabila PPK tetap tidak menerbitkan surat keputusan pemberhentian hingga 31 Desember 2018, akan ada sanksinya. Sanksi untuk PPK pusat akan diberikan oleh Presiden, sedangkan PPK daerah oleh Kemendagri.
Namun, Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Dewan Perwakilan Nasional Korps Pegawai RI Nurmadjito menilai, pemecatan ASN korupsi tidak bisa begitu saja dilakukan. Perlu ada pemahaman mendalam terkait dengan manajemen ASN.
”Ada beberapa ASN korupsi yang sebenarnya tidak mau korupsi. Ada yang dipaksa tanda tangan untuk hal yang tidak dimengertinya, ada pula yang dipaksa mencairkan sejumlah uang untuk keperluan perjalanan atasan. Mereka yang berada di bawah ancaman ini seperti terjebak oleh sistem yang ada,” katanya.
Kepala Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah Lembaga Administrasi Negara (LAN) Hary Supriadi menyampaikan hal senada.
(Sharon Patricia )