Ribuan Napi dan Tahanan Lari untuk Selamatkan Diri
Oleh
Rini Kustiasih
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Sedikitnya 1.357 narapidana dan tahanan yang tercatat di 15 lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan di wilayah Sulawesi Tengah, saat ini posisinya berada di luar ruang tahanan masing-masing. Pada saat gempa terjadi, Jumat akhir pekan lalu, ribuan napi dan tahanan menyelamatkan diri dengan keluar dari gedung LP dan rutan. Bencana mengakibatkan kerusakan parah pada sejumlah instalasi pemasyarakatan di wilayah tersebut.
Staf hubungan masyarakat Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Fitriadi Agung Prabowo, Senin (1/10/2018) di Jakarta mengatakan, pada saat kejadian, dirinya sedang berada di Palu, Sulteng. LP Kelas II A Palu yang diisi 700 napi terkena gempa, sehingga tembok sekeliling yang membatasi bagian dalam dan luar instalasi pemasyarakatan itu roboh. Karena kondisi tidak terkendali dan gempa berturut-turut yang disertai tsunami menerjang Palu, napi berhamburan keluar melarikan diri dari LP.
“Petugas menyadari tidak banyak yang bisa dilakukan dalam kondisi seperti itu. Para napi ingin menyelamatkan diri, sehingga mereka melarikan diri. Langkah persuasif diambil petugas, dan mereka diberi keleluasaan untuk menyelamatkan diri. Mereka dibebaskan sementara karena tidak mungkin mempertaruhkan nyawa mereka dengan bertahan di dalam LP dan rutan,” kata Fitriadi.
Selain LP Palu, Rutan Palu juga rusak karena tahanan yang panik berusaha kelaur dari dalam rutan dengan mendobrak dinding dan pintu rutan. Dari sekitar 450 tahanan, 400 orang di antaranya melarikan diri. Hal serupa juga terjadi di LP Donggala. Sedikitnya 300 tahanan di Rutan Donggala melarikan diri setelah terjadi provokasi dan kebakaran di rutan tersebut pascagempa.
Kemenkumham melalui Diretorat Jenderal Pemasyarakatan telah berkoordinasi dengan TNI dan Polri untuk mengamankan situasi di sekitar instalasi pemasyarakatan, serta untuk mencari napi dan tahanan yang melarikan diri. “Upaya napi menyelamatkan diri dari bencana itu bisa dipahami, tetapi tentu kami tidak akan membiarkan hal itu begitu saja. Kami bekerja sama dengan TNI dan Polri untuk memastikan para napi dan tahanan kembali melapor kepada LP dan rutan masing-masing. Kami beri waktu seminggu untuk melapor,” katanya.
Bila dalam waktu dua minggu tidak ada laporan dan penyerahan diri dari napi dan tahanan, mereka akan dimasukkan ke dalam daftar pencarian orang (DPO). Pihak kepolisian akan memburu buronan yang sengaja memanfaatkan momentum bencana alam tersebut.
“Kemarin sempat kami tegaskan untuk sementara mereka bisa keluar, tetapi harus balik dalam dua minggu. Kalau dalam dua minggu tidak kembali, mereka akan ditetapkan menjadi DPO,” ujarnya.
Saat ini, kepolisian dan TNI masih fokus untuk mengevakuasi korban. Untuk pencarian napi dan tahanan yang tidak melapor kemungkinan akan dilakukan pekan depan. Kondisi pencarian napi saat ini belum memungkinkan karena kepolisian juga kekurangan personel, dan mereka konsentrasi untuk melakukan evakuasi korban dan pencarian orang hilang.
Rutan dibakar
Dalam keterangan persnya, Dirjen PAS Sri Puguh Budi Utami mengatakan, Rutan Donggala dibakar oleh penghuni. Namun, secara etika dan moral hukum, hal ini bisa dimaklumi, karena secara naluriah mereka membutuhkan keselamatan jiwa, juga memerlukan informasi tentang kondisi keluarga mereka yang ada di luar tembok penjara. Sebagian besar dari tahanan dan napi yang melarikan diri karena gempa itu diklaim telah kembali melaporkan diri ke LP dan rutan.
“Lumpuhnya penyelenggaran layanan, khususnya layanan makan, serta kondisi hunian yang belum seutuhnya dapat dipergunakan, menjadi pertimbangan mereka (napi dan tahanan) tetap berada di masyarakat atau dekat dengan keluarganya,” kata Utami.
Ditjen PAS masih akan memantau situasi dan mempertimbangkan kondisi kedaruratan untuk menentukan batas maksimal kepada napi dan tahanan itu berada di luar LP dan rutan. Pada saat bersamaan, upaya pemulihan fasilitas pemasyarakatan juga diupayakan.
Peneliti Center for Detention Studies (CDS) Gatot Goei mengatakan, prosedur operasional standar (SOP) dalam kondisi bencana ialah pelaksanaan evakuasi secepatnya kepada napi dan tahanan. Evakuasi itu bisa dilakukan dengan membawa napi dan tahanan ke tempat yang lebih aman dari bencana. Problemnya, dalam gempa Palu ini, evakuasi napi dan tahanan dalam jumlah ribuan orang pada saat bersamaan dengan cepat tidak dimungkinkan.
“SOP-nya memang mereka harus dievakuasi. Namun, mau dievakuasi ke mana karena semua wilayah di Palu terkena bencana. Artinya untuk memindahkan ribuan napi itu tentu tidak mudah, bahkan juga tidak mungkin bila melihat LP dan rutan yang kelebihan penghuni dan jumlah petugas yang terbatas,” kata Gatot.
Dengan mempertimbangkan kondisi itu, salah satu solusi untuk menyelamatkan nyawa napi dan tahanan ialah dengan memberikan keleluasaan kepada mereka untuk mencari tempat aman masing-masing.
Pengalaman serupa, menurut Gatot, pernah dilakukan oleh petugas LP Banda Aceh saat terjadi tsunami, tahun 2004. Untuk menyelamatkan napi, petugas terpaksa membebaskan napi dari LP, supaya mereka tidak terperangkap.
“Saat ini yang perlu dilakukan ialah pendataan kembali, dan memastikan napi dan tahanan yang melarikan diri itu tidak buron,” katanya.
Saat ini terdapat 15 LP dan rutan di wilayah Sulteng. Delapan di antaranya terdampak gempa. Adapun jumlah tahanan dan napi ialah 3.220 orang, atau kelebihan 123 persen dari yang semestinya.