JAKARTA, KOMPAS - Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM perlu upaya persuasif guna mengembalikan 1.357 narapidana dan tahanan yang melarikan diri akibat gempa dan tsunami di Sulawesi Tengah, akhir pekan lalu, ke lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan.
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform Anggara, Selasa (2/10/2018), di Jakarta, mengatakan, upaya persuasif itu antara lain memberi remisi atau pemotongan masa hukuman bagi mereka yang kembali pada batas waktu ditentukan. Upaya ini pernah ditempuh saat gempa dan tsunami di Aceh, Desember 2004.
”Ini bukan pertama kali. Pada tsunami Aceh 2004, pascabencana, penghuni lapas dan rutan kabur. Presiden kemudian menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 2005 tentang Pemberian Remisi kepada Narapidana dan Anak Pidana Korban Bencana Alam Gempa Bumi dan Gelombang Tsunami di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara. Dengan keppres itu, penghuni yang lapor kembali setelah bencana sebelum diterbitkan keppres dapat remisi,” ujarnya.
Menurut dia, penting bagi Dirjen PAS ataupun kepala lapas dan rutan memberi insentif yang relevan bagi penghuni lapas dan rutan yang lari. Ini akan jadi solusi jangka pendek agar napi dan tahanan lebih mudah diajak kembali, selain penegakan hukum.
Menurut Kepala Bagian Humas dan Protokol Ditjen PAS Ade Kusmanto, seharusnya ada 3.220 napi dan tahanan di delapan lapas dan rutan di Sulteng. Namun, akibat gempa, 1.425 napi dan tahanan melarikan diri. Pemerintah memberi batas waktu seminggu atau Kamis (4/10) bagi yang masih melarikan diri agar melapor. Jika mereka tak melapor sampai Kamis, napi dan tahanan akan ditetapkan sebagai buronan atau masuk daftar pencarian orang.
Protokol keamanan
Lebih jauh, Anggara menambahkan, selain melakukan persuasi kepada napi dan tahanan, pemerintah juga didorong mengikuti protokol keamanan napi dan tahanan, termasuk jika terjadi bencana. Protokol itu penting untuk diatur komprehensif karena salah satu syarat utama mendukung keberhasilan sistem permasyarakatan. Namun, protokol keamanan lapas dan rutan dalam kondisi bencana belum diatur khusus. Ke depan ada baiknya hal itu diatur dalam rancangan UU pemasyarakatan yang baru. (REK)