JAKARTA, KOMPAS - Keharusan audit eksternal terhadap sistem penyadapan Komisi Pemberantasan Korupsi yang sejak 2009 dihentikan pasca putusan Mahkamah Konstitusi, akan kembali dihidupkan. Di tengah pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Penyadapan yang mensyaratkan lembaga penegak hukum menyadap dengan izin pengadilan, KPK menilai audit penyadapan bisa menjadi opsi alternatif agar upaya pemberantasan korupsi tidak perlu terhambat birokrasi yang berbelit.
Dalam rapat dengar pendapat Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat dengan Komisi Pemberantasan Korupsi di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (3/10/2018), Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan, ada rencana untuk menghidupkan kembali audit eksternal penyadapan KPK. Audit itu akan dilakukan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika. Kemarin, pimpinan KPK bertemu dengan Menkominfo Rudi Antara dan seluruh operator telekomunikasi untuk membicarakan realisasi rencana tersebut.
Audit eksternal penyadapan diperlukan untuk menilai apakah mekanisme penyadapan yang dilakukan KPK sudah sesuai dengan prosedur operasi standar yang telah ditentukan atau tidak.
"Kami berharap audit tetap dilakukan agar tuduhan bahwa kami melakukan penyadapan yang tidak lawful itu kemudian bisa diluruskan, bahwa KPK itu tidak sembarangan saat menyadap," kata Agus di depan pimpinan dan anggota Komisi III DPR.
Audit penyadapan KPK oleh Kemenkominfo sudah pernah diberlakukan sebelumnya. Namun, pasca 2009, setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi 012-016-019/PUU-IV/2006 yang mengharuskan tata cara penyadapan dilakukan melalui undang-undang, proses audit itu dihentikan. Rencana menghidupkan kembali audit penyadapan KPK berulang kali muncul, tetapi belum terealisasi sampai sekarang.
Agus mengatakan, KPK bersama Kemenkominfo dan para operator telah membentuk forum diskusi untuk membicarakan teknis aturan audit penyadapan itu. Dalam waktu dekat, akan ada forum pembahasan dengan Kepolisian dan Kejaksaan untuk membahas wacana itu. "Sudah kami jadwalkan, dalam waktu dekat akan segera ketemu. Semoga (tahun ini) sudah kembali ada audit penyadapan," ujar Agus.
Momentum menghidupkan kembali audit penyadapan KPK dinilai tepat karena seiring dengan penggodokan RUU tentang Penyadapan, yang diusulkan oleh DPR dan saat ini sedang dalam proses harmonisasi substansi draf RUU. Agus menilai, audit penyadapan bisa jadi opsi alternatif dibandingkan wacana bahwa penyadapan harus melalui izin dan penetapan dari pengadilan.
"Kami harap memang ini bisa disinkronkan antara keinginan kami dengan RUU Penyadapan. Bayangkan saja, kalau untuk melakukan penyadapan kami harus ada persetujuan pengadilan, itu repot, kami jadi sulit," katanya.
Pada Pasal 5 Ayat (2) RUU Penyadapan disebutkan, pelaksanaan penyadapan dalam rangka penegakan hukum dikoordinasikan dengan lembaga peradilan.
Ketentuan lebih detail diatur di Pasal 10 yang menyebutkan bahwa pelaksanaan penyadapan harus berdasarkan penetapan ketua pengadilan tinggi (PT). Apabila penyadapan akan dilakukan kepada pejabat yang memiliki kewenangan terkait dengan penyadapan, penetapan diajukan kepada Ketua Mahkamah Agung.
Sementara dalam hal keadaan mendesak, antara lain permufakatan jahat yang merupakan karakteristik tindak pidana yang terorganisasi, penyidik bisa menyadap hanya dengan berbekal persetujuan dari pimpinan pusat pemantauan penyadapan yang harus ada di setiap lembaga penegak hukum. Namun, bersamaan dengan itu, permohonan penetapan penyadapan kepada ketua PT tetap harus diajukan.
Agar tak menghambat penegakan hukum, penetapan penyadapan harus dikeluarkan dalam batas waktu tertentu. Dalam kondisi normal, ketua PT harus mengeluarkan penetapan dalam jangka waktu paling lama 3 x 24 jam sejak permohonan diajukan. Adapun dalam kondisi mendesak, batas waktunya 2 x 24 jam.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Nasir Djamil mengatakan, memang sudah seharusnya penyadapan KPK itu diaudit secara eksternal. "Audit itu penting karena berkorelasi dengan akuntabilitas institusi KPK. Saya kaget juga ketika pimpinan KPK mengatakan sejak 2009 tidak ada audit khusus terhadap penyadapan KPK," ujar Nasir.
Ia mengatakan, momen saat ini tepat untuk mengusulkan menghidupkan kembali audit penyadapan KPK, karena sesuai dengan pembahasan RUU Penyadapan. Bisa saja, keharusan audit penyadapan itu nantinya dimasukkan sebagai poin substansi di draf RUU.
Kendati demikian, menurutnya, semua lembaga penegak hukum yang memiliki kewenangan penyadapan seharusnya diperlakukan sama. Artinya, meski ke depan ada audit khusus terhadap penyadapan KPK, lembaga antirasuah itu tetap harus melalui penetapan pengadilan jika ingin menyadap.
"Penegakan hukum tidak boleh buru-buru, harus akuntabel. Kan nanti bisa ada pengecualian ketika situasi mendesak, boleh menyadap, setelahnya baru lapor pengadilan," ujar Nasir.
Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Nasdem Akbar Faizal mengatakan, usulan KPK itu bisa dibicarakan bersama dalam proses pembahasan RUU Penyadapan yang saat ini sedang diproses di Badan Legislasi DPR. "Itu persepsi dan tawaran ide yang baik dari KPK. Tidak masalah nanti kita bicarakan bersama. Jangan sampai ada tafsir sendiri-sendiri sehingga pengelolaannya jadi kacau balau," katanya.