JAKARTA,KOMPAS – Kabar bohong yang terus-menerus diproduksi dan diamplifikasi bisa berujung pada konflik sosial. Terlebih dengan kondisi sosial psikologi masyarakat yang lebih mudah mempercayai kabar bohong. Oleh karena itu, penting bagi segenap pihak untuk menjauhkan masyarakat dari kabar-kabar bohong.
Ini terutama menjelang Pemilu 2019. Kabar bohong rentan digunakan sebagai alat untuk kepentingan politik, meningkatkan elektabilitas, tanpa memikirkan dampaknya ke masyarakat.
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Hamdi Muluk dalam diskusi bertajuk “Ancaman Hoaks dan Keutuhan NKRI”, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (5/10), mencontohkan konflik sosial di Rwanda tahun 1994 yang dipicu kabar bohong.
“Jadi jangan menganggap enteng kabar bohong. Kabar bohong itu nyata bisa membuat pertengkaran yang tidak perlu, memicu konflik sosial, dan disintegrasi bangsa,” katanya.
Agar hal itu tidak terjadi, penting bagi segenap pihak untuk mengedukasi masyarakat dan sekaligus menjauhkan masyarakat dari kabar bohong. Media massa misalnya, tidak begitu mudah menyiarkan kabar yang belum bisa dipastikan kebenarannya.
“Sekalipun kabar itu dramatis dan heboh, harus tetap skeptis, dicek dan ricek dulu kebenarannya,” tambahnya.
Tingkatkan elektabilitas
Begitu pula politisi yang diharapkan bisa menjadi contoh bagi masyarakat. Menjelang Pemilu 2019, para politisi yang juga merupakan peserta pemilu, hendaknya bisa menghadirkan kontestasi yang mengedepankan adu gagasan dengan berbasis pada fakta dan data, dan bukan beradu menyebarkan kabar bohong.
Produksi dan amplifikasi kabar bohong oleh politisi itu rentan marak terjadi selama kontestasi pemilu mengingat kondisi sosial psikologis sebagian masyarakat yang lebih mempercayai kabar bohong. Jadi, kabar bohong sengaja ditebar untuk kepentingan politik, meningkatkan elektabilitas peserta pemilu.
Ini setidaknya yang terlihat dalam kasus cerita bohong Ratna Sarumpaet. Cerita Ratna dianiaya langsung diamplifikasi oleh sejumlah elit politik, sekalipun cerita itu belum terverifikasi kebenarannya.
“Banyak cara untuk memverifikasinya tetapi cerita Ratna langsung dijadikan narasi politik,” ujarnya.
Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Gerindra yang juga bagian dari Badan Pemenangan Nasional Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Fadli Zon, menegaskan kembali dirinya bersama Prabowo dan elit-elit politik pendukung Prabowo-Sandiaga lainnya, sama sekali tidak tahu kalau Ratna berbohong. Sikap yang muncul pasca mendengar cerita Ratna, murni merupakan respon yang harus dilakukan ketika mendengar ada yang dianiaya. Apalagi yang dianiaya memiliki rekam jejak dan reputasi yang bisa dipercaya.
Oleh karena itu, dia membantah jika kabar bohong Ratna disebut sebagai bagian dari strategi meningkatkan elektabilitas Prabowo-Sandiaga, dan mendelegitimasi lawan politik.
“Sama sekali tidak ada. Kita tidak biasa berbohong,” tambahnya.
Dia pun membantah adanya informasi kalau kubu Prabowo-Sandiaga menggunakan konsultan politik yang memenangkan Donald Trump di Pemilu Presiden Amerika Serikat Tahun 2016. Konsultan ini menggunakan teori firehose of the falsehood yang secara intens mempropagandakan kebohongan nyata guna memenangkan Trump. “Setahu saya tidak ada, kita pakai yang lokal saja,” katanya.
Untuk menangkis tudingan-tudingan tersebut, Fadli mendorong kepolisian untuk mengusut tuntas kasus Ratna. Jika memang Ratna tidak bekerja sendirian, kepolisian diminta mengungkap dalangnya. Kubu Prabowo-Sandiaga berkepentingan mengetahui hal ini karena dirugikan atas cerita bohong Ratna. “Silakan dibuka semuanya. Kita siap dikonfrontasi,” ujarnya.