Gugatan Perdata terhadap Saksi Ahli Lemahkan Penegakan Hukum
Oleh
Rini Kustiasih
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Dua ahli lingkungan hidup digugat secara perdata oleh dua pihak yang berbeda terkait dengan keterangan mereka sebagai ahli di pengadilan yang terkait dengan kejahatan lingkungan. Gugatan oleh pihak lain dengan mendasarkan keterangan ahli di dalam persidangan mengancam kebebasan akademik dan membahayakan upaya penegakan hukum.
Dua ahli lingkungan hidup telah digugat secara perdata di Pengadilan Negeri Cibinong, yani Basuki Wasis dan Bambang Hero Saharjo. Basuki digugat oleh mantan Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam, sedangkan Bambang digugat oleh PT Jatim Jaya Perkasa. Saat ini gugatan terhadap Basuki telah memasuki tahapan pemberian jawaban penggugat atas eksepsi tergugat. Adapun gugatan terhadap Bambang baru dimasukkan pada 17 September 2018.
“Dua ahli itu menyatakan pandangannya di dalam sidang untuk keperluan penegakan hukum, bukan tujuan lain. Posisi ahli dan pendapatnya itu dilindungi dalam konteks hukum. Sekalipun secara mekanisme hukum belum ada ketentuan yang melarang dilakukannya gugatan pidana atau perdata terhadap ahli, tetapi gugatan terhadap ahli karena pendapatnya di dalam sidang itu melanggar prinsip dasar perlindungan terhadap saksi, ahli, dan korban,” kata Bivitri Susanti, pengajar Sekolah Tinggi Hukum (STH) Jentera, Minggu (7/10/2018), yang dihubungi dari Jakarta.
Keterangan ahli dalam konteks hukum pidana merupakan salah satu petunjuk bagi hakim dalam memeriksa dan memutus perkara. Namun, keterangan ahli itu bukan merupakan satu-satunya hal yang menentukan terbukti atau tidaknya suatu perbuatan pidana.
“Tugas ahli membantu penegak hukum. Kalau karena pendapatnya mereka digugat dan diperkarakan, akan banyak ahli yang keberatan menjadi ahli di persidangan karena alasan itu. Pendapat ahli seharusnya tidak bisa digugat karena ia menyampaikan pengetahuannya di hadapan sidang,” kata Bivitri.
Keterangan ahli itu pun tidak mengikat bagi hakim. Oleh karenanya, hakim tidak wajib mengikuti pendapat ahli.
“Pendapat ahli hanya petunjuk bagi hakim, sehingga tidak 100 persen diambil oleh hakim. Kalau seseorang dinyatakan bersalah, belum tentu karena pendapat ahli menyatakan demikian. Kalau pun hakim mengutip pendapat ahli, hakim tidak sepenuhnya mendasarkan putusannya pada pendapat satu ahli itu saja, melainkan dengan melihat telah terpenuhi atau tidak dua alat bukti,” ujarnya.
Dalam kasus yang menimpa Basuki Wasis, ia digugat secara perdata oleh Nur Alam karena pendapatnya yang menghitung adanya kerugian Rp 2,7 triliun yang diderita negara akibat kerusakan lingkungan. Kerusakan negara itu timbul akibat pemberian izin tambang nikel kepada PT Anugrah Harisma Barakah yang tidak sesuai ketentuan. Nur Alam di dalam persidangan terbukti menerima suap dalam penerbitan izin tambang tersebut.
Pembalasan
Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental (ICEL) Henri Subagiyo mengatakan, gugatan perdata terhadap dua ahli lingkungan dari Institut Pertanian Bogor (IPB) itu menunjukkan adanya upaya pembalasan dari pihak-pihak yang seharusnya bertanggung jawab atas kejahatan atau pelanggaran lingkungan yang mereka lakukan. Hal itu dilakukan untuk membungkam mereka, sehingga peran penting para ahli dalam mengungkap pelanggaran lingkungan hidup bisa diredam.
“Kesalahan mereka (ahli) dicari-cari, dan nanti diarahkan untuk melemahkan putusan pengadilan sebelumnya yang mewajibkan penggugat bertanggung jawab. Jika ini dibiarkan, dan pengadilan terlalu membuka peluang-peluang seperti ini, hal ini menjadi preseden buruk bagi dunia peradilan dan penegakan hukum lingkungan hidup,” kata Henri.