JAKARTA, KOMPAS — Lembaga swadaya masyarakat dan pemerintah daerah harus berkolaborasi untuk saling memastikan proses pengadaan barang dan jasa tepat sasaran dan transparan. Di samping itu, perlu sertifikasi yang serius bagi LSM agar tidak ada penyimpangan anggaran yang telah disalurkan.
Direktur Pembinaan Jaringan Kerja dan Antarkomisi dan Instansi KPK Sujanarko mengatakan, selama ini, mayoritas lembaga swadaya masyarakat (LSM) terlalu fokus pada fungsi pengawasan program pemerintah (watchdog), tetapi tidak banyak berkontribusi dalam proses audit sosial dari program pemerintah di daerahnya. Karena itu, perlu pergeseran pola pikir dalam hubungan antara pemerintah dan LSM agar ada kesamaan perspektif dalam pembangunan daerah.
”Jadi, LSM jangan hanya kompetensi watchdog karena tak ada gunanya, tak akan punya akses informasi. Harus mampu berkolaborasi dengan birokrasi untuk membangun daerah dalam perspektif yang terstruktur dan positif," ujar Sujanarko dalam diskusi ”Kerja Sama untuk Pelayanan Masyarakat antara Organisasi Masyarakat dan Pemerintah” yang digelar Knowledge Sector Initiative, di Jakarta, Selasa (9/10/2018).
Hubungan kerja sama antara LSM dan pemerintah itu telah diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang dan Jasa. Perpres itu berpotensi meningkatkan jangkauan dan kualitas layanan pemerintah untuk masyarakat miskin dan terpinggirkan atas masukan LSM. Selain itu, peraturan ini juga dapat memberikan akses pendanaan yang sangat dibutuhkan LSM kecil dan organisasi berbasis kepercayaan yang memiliki kemampuan dalam memenuhi kebutuhan orang-orang yang secara sosial dan ekonomi terpinggirkan.
Menurut Sujanarko, penerapan Perpres No 16/2018 ini penting agar pengadaan barang dan jasa dapat dengan mudah diawasi. Pengawasan itu dapat berawal dari perencanaan anggaran di dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan Daerah hingga pengawasan pelaksanaan kebijakan. Hal ini mengingat ada 78 persen kasus korupsi yang ditangani KPK terkait dengan kasus penyuapan dan pengadaan barang dan jasa pemerintah atau e-procurement.
”Walau memberi peluang bagi LSM, perpres itu bagi birokrasi pasti agak menakutkan dan lebih berhati-hati lagi dalam pengadaan barang dan jasa,” ucapnya.
Meski demikian, lanjut Sujanarko, kehadiran perpres itu harus diikuti dengan standar kompetensi audit sosial dari setiap anggota LSM dan sertifikasi LSM itu sendiri. Sebab, LSM itu nantinya memiliki tanggung jawab besar dalam pengelolaan anggaran pemerintah daerah.
”Agar aman dari audit Badan Pemeriksa Keuangan, setiap pengeluaran wajib dibuat kuitansi dan jelas transaksinya. Jadi, LSM itu akan lolos dari jebakan batman,” kata Sujanarko.
Sementara itu, Deputy Team Leader KSI James Imanuel Ginting menekankan kehadiran Perpres No 16/2018 dapat memperkecil ruang korupsi yang kerap terjadi dalam proyek pengadaan barang dan jasa yang biasa menggunakan jalur kenalan konsultan pribadi. ”Ini bagus untuk membuka transparansi jika banyak pemda yang makin membuka diri pada partisipasi masyarakat dalam melaksanakan pelayanan sosial,” ujarnya.
Selain itu, menurut James, perpres itu juga bisa membuka kesempatan bagi LSM untuk sekaligus melakukan penelitian kebijakan.