Hampir sebulan sejak masa kampanye Pemilihan Presiden (Pilpres) dimulai pada 23 September 2018, publik belum memperoleh informasi dan gambaran tentang visi, misi, dan program tiap pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) yang ikut kontestasi. Hasil jajak pendapat pekan lalu merekam pendapat publik tentang hal ini.
Mayoritas responden menyatakan tidak mengetahui visi, misi, dan program masing-masing pasangan. Hanya 15,8 persen responden yang menyatakan mengetahui visi, misi, dan program keseluruhan pasangan Joko Widodo–Ma’aruf Amin. Sementara itu, terkait visi, misi, dan program pasangan pasangan Prabowo Subianto–Sandiaga Salahuddin Uno, tak lebih dari 11,6 persen responden yang menyatakan mengetahuinya.
Selain itu, hanya 24 persen responden yang tahu sejumlah program Jokowi-Ma\'ruf, seperti pembangunan infrastruktur, ekonomi dan kesejahteraan sosial, peningkatan kualitas kesehatan, serta penciptaan lapangan kerja. Sebaliknya, mayoritas responden (76 persen) mengakui tidak tahu tentang program pasangan itu.
Di saat yang sama, juga hanya 15 persen responden yang tahu program Prabowo–Sandiaga seperti perbaikan ekonomi dan kesejahteraan, penciptaan lapangan kerja, penghapusan kerja outsourcing, serta program kerjasama bilateral/multilateral dengan negara lain. Sedangkan 85 persen mengatakan sebaliknya.
Visi, misi, program dari kedua pasang kandidat seolah tertutup oleh aksi saling serang melalui sejumlah pernyataan di berbagai media. Padahal, publik melihat ada berbagai persoalan bangsa yang harus dihadapi dan butuh solusi konkrit dari para kandidat untuk menghadapinya.
Persoalan yang disebut publik itu, terutama masalah ekonomi seperti harga bahan pokok, stabilitas nilai tukar rupiah, maupun lapangan pekerjaan. Persoalan lainnya adalah kesejahteraan sosial, penegakan hukum, serta politik dan keamanan.
Saling Serang
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, menyebutkan, kampanye adalah kegiatan peserta pemilu atau pihak lain yang ditunjuk oleh peserta pemilu untuk meyakinkan publik dengan menawarkan visi, misi, program dan/atau citra diri peserta Pemilu.
Namun, saat ini kedua kubu kandidat yang berkontestasi di Pilpres 2019, terlihat masih berkutat pada urusan menjadikan momen apapun sebagai ajang untuk mendapatkan simpati rakyat dan menjatuhkan lawan politik. Akibatnya, isi dan cara kampanye berbelok dari seharusnya menyebarkan visi, misi, dan program menjadi forum menyerang, menangkis, bahkan menyebarkan kabar palsu, fitnah serta ujaran kebencian.
Beberapa pekan terakhir, ruang publik disesaki oleh "goreng-menggoreng" isu terkait bencana gempa Lombok dan Palu-Donggala, Pertemuan Tahunan IMF-World Bank di Bali, serta kasus kabar bohong terkait penganiayaan Ratna Sarumpaet. Sebagian besar publik menilai ketiga isu itu tidak berkaitan secara langsung dengan Pilpres 2019, tetapi terus dikait-kaitkan.
Selain media massa, media sosial juga digunakan kedua kubu untuk menyerang dan mendapatkan simpati rakyat. Menurut Peraturan KPU Nomor 23 Tahun 2018, media sosial dapat menjadi media kampanye, namun para peserta pemilu wajib mendaftarkan akun resmi media sosial mereka (paling banyak 10 akun tiap aplikasi) kepada KPU.
Akan tetapi, belum ada aturan yang mengatur tim kampanye dalam aktivitasnya di media sosial. Saat ini, koridor hukum yang mengawasi tim kampanye dari kedua kubu hanya pasal 2 Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang antara lain mengatur penyebaran kebencian berbasis SARA di dunia maya.
Publik Menanti
Meski kampanye Pilpres 2019 belum beranjak ke kampanye yang mengedepankan gagasan dan solusi untuk kemajuan bangsa, publik masih optimistis kedua kubu akan menghadirkan kampanye yang bermutu. Hampir separuh responden yakin bahwa visi, misi, dan program yang ditawarkan para kandidat bukan sekedar untuk memikat pemilih, namun akan sungguh akan dijalankan saat mereka memenangkan Pilpres 2019.
Masa kampanye yang panjang, yaitu hingga April 2019 memberi kesempatan kepada masing-masing kubu untuk menyosialisasikan programnya secara rinci. Namun, durasi yang panjang ini juga akan menggoda kedua kubu untuk melakukan komodifikasi isu demi meraih simpati rakyat.
Komodifikasi isu terhadap masing-masing calon sedikit banyak memengaruhi pilihan publik. Sekitar 21 persen responden mengaku pilihannya di Pilpres 2019 sangat dipengaruhi oleh isu negatif tentang calon. Sedangkan sekitar 31 persen responden menjawab mungkin pilihannya terpengaruh oleh isu negatif seputar calon. Sementara itu, ada 36 persen responden menyatakan pilihannya tak akan dipengaruhi isu negatif calon.
Akhirnya, aturan di UU Pemilu mesti jadi landasan berkampanye yang sehat. Oleh karena itu, kini, sudah saatnya semua kubu berhenti menggunakan berbagai isu untuk menjatuhkan lawan. Isi dan cara kampanye bermutu masih dinantikan publik.