JAKARTA,KOMPAS – Pemerintah menegaskan tidak ada alokasi anggaran negara untuk membiayai saksi dari partai politik di Pemilu 2019. Ini karena tidak ada dasar hukumnya di Undang-Undang Pemilu. Jika dana saksi dipaksakan untuk dialokasikan dan kemudian digunakan, hal tersebut bisa diklasifikasikan sebagai perbuatan melawan hukum.
Kepastian dari pemerintah tersebut disampaikan oleh Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Askolani saat rapat dengan Badan Anggaran (Banggar) DPR membahas postur belanja Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Tahun 2019, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (18/10/2018).
“Dalam Undang-Undang Pemilu (Nomor 7 Tahun 2017), tidak ada aturan saksi (partai) dibiayai oleh negara. Yang ada hanya untuk pelatihan saksi. Jadi, sesuai amanat UU Pemilu itu, untuk 2019 dan juga 2018, dana hanya untuk pelatihan saksi,” kata Askolani.
Dia menjelaskan hal itu untuk menjawab pertanyaan dari Anggota Banggar DPR dari Fraksi Partai Golkar Ridwan Bae.
Wakil Ketua Banggar DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Jazilul Fawaid mengatakan dengan jawaban pemerintah itu, tidak bisa lagi Banggar DPR meminta pemerintah agar permintaan yang dimunculkan Komisi II DPR itu dikabulkan. “Tidak ada dasar hukumnya, ya sudah stop,” tambahnya.
Namun berbeda dengan Jazilul, Ketua Banggar DPR dari Fraksi Partai Golkar Azis Syamsuddin mengatakan akan terus mencari jalan agar pembiayaan saksi oleh negara yang menurut pengajuan Komisi II DPR besarnya Rp 3,9 triliun, bisa masuk di RAPBN 2019. Proses lobi akan ditempuh kepada fraksi-fraksi yang belum setuju dan juga kepada pemerintah. “Bisa saja nanti pengambilan keputusannya dengan voting (suara terbanyak),” katanya.
Permintaan pembiayaan saksi partai oleh negara pertama kali disampaikan Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar Zainudin Amali sebagai keputusan Komisi II yang disampaikan ke Banggar DPR untuk dibahas bersama pemerintah agar dialokasikan di RAPBN 2019. Namun klaim dari Zainudin itu dibantah oleh anggota Komisi II DPR dari Fraksi PDI-P Arif Wibowo.
“Sepengetahuan saya hal itu tidak pernah dibahas di Komisi II. Kalaupun dibahas, PDI-P tidak akan menyetujuinya, sehingga tidak bisa disebut keputusan Komisi II,” tegasnya.
Kesukarelawanan
Penolakan PDI-P, dia melanjutkan, sudah sejak wacana pembiayaan saksi oleh negara muncul saat pembahasan RUU Pemilu.
“Saksi partai itu sebenarnya kader atau anggota partai. Jadi ketika mereka menjadi saksi, basis mereka bekerja itu kesukarelawanan. Mereka punya kewajiban secara moral dan politik untuk mengawal dan mengamankan suara partai,” katanya.
Saksi partai itu sebenarnya kader atau anggota partai. Jadi ketika mereka menjadi saksi, basis mereka bekerja itu kesukarelawanan. Mereka punya kewajiban secara moral dan politik untuk mengawal dan mengamankan suara partai
Kalaupun kemudian partai atau calon anggota legislatif (caleg) memberi honor untuk saksi, honor semata sebagai bentuk dukungan pada kerja mereka. “Mereka harus seharian mengawal suara, sehingga harus dibantu makannya, minumnya. Supaya tidak ribet, ya itu diberikan dalam bentuk honor,” katanya.
Dengan basis saksi adalah kader partai dan kesukarelawanan, jika pembiayaan saksi ditanggung negara, implikasinya justru bisa merusak partai. Partai tidak akan lagi melakukan kaderisasi dan pendidikan politik. Partai tinggal memanfaatkan dana saksi sebagai cara merekrut anggota baru dengan iming-iming dana saksi. “Jadi akhirnya membangun partai dengan uang,” ujarnya.
Iming-iming dana saksi juga rentan dimanfaatkan partai politik menjadi model lain dari politik uang. Sebab tak menutup kemungkinan, warga ditawari partai menjadi saksi dan diberi dana saksi, tetapi dengan syarat memilih partai bersangkutan.
Ekses negatif lainnya, tidak adanya dasar hukum di UU Pemilu, membuat pengalokasian anggaran di RAPBN, dan penggunaan anggarannya, bisa diklasifikasikan perbuatan melawan hukum.
Ditambah lagi kemungkinan calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) akan menuntut hal yang sama dengan dasar keadilan. Total ada 807 calon anggota DPD untuk Pemilu 2019, dan di setiap pemilu, mereka pun membiayai saksi untuk mengawal dan mengamankan suara mereka pada proses pemungutan dan rekapitulasi suara.
“Jika itu terjadi, bisa dibayangkan berapa banyak lagi anggaran negara harus dikeluarkan,” tambahnya.
Ide Golkar
Arif Wibowo tidak membantah saat ditanyakan Partai Golkar berada di balik munculnya permintaan pembiayaan saksi oleh negara. Lobi sudah sekitar satu bulan dilakukan oleh Golkar. “Iya, Golkar yang intens melobi fraksi-fraksi,” katanya.
Tingginya biaya politik menjadi alasannya. Biaya politik menjadi tinggi karena untuk kepentingan saksi dan kampanye.
Namun Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto menampik hal ini. Menurut dia, hal itu keputusan dari Komisi II DPR, dan Golkar mendukung keputusan tersebut. Ini disebutnya demi tercapainya keadilan di pemilu. Artinya, semua partai bisa memiliki saksi untuk mengawal suara partai di pemilu.