Pemilu 2019 akan menjadi ujian bagi partai politik dalam menarik perhatian pemilih. Titik ujian itu berada pada seberapa kuat popularitas parpol dalam menarik pemilihnya di tengah perhatian publik yang terbelah dengan pemilihan presiden. Parpol juga mesti menjamin loyalitas pemilihnya untuk setia sampai pemungutan suara.
Kesetiaan pemilih jadi faktor penting bagi parpol untuk bisa meraup dukungan di Pemilu 2019, yang untuk pertama kalinya pemilihan anggota legislatif dan pemilihan presiden (pilpres) digelar serentak. Pemilu serentak membuat kerja pemilih semakin berat karena harus menentukan pilihan dari lima kertas suara sekaligus. Lima kertas suara itu masing-masing adalah untuk memilih pasangan presiden dan wakil presiden serta anggota DPR, DPD, DPRD tingkat provinsi, dan DPRD tingkat kota/kabupaten.
Sementara di kertas suara calon anggota DPR, misalnya, pemilih akan dihadapkan pada puluhan, bahkan ratusan, calon dari 16 parpol di suatu daerah pemilihan.
Kondisi ini membuat kerja parpol dalam memengaruhi pemilih agar memilih parpol atau calon anggota legislatif yang diusung parpol jadi lebih berat. Hasil survei Litbang Kompas mencatat, ada dua modal keterpilihan parpol yang menyimpan potensi elektoral, yaitu loyalitas pemilih pada parpol dan efek elektoral pilpres. Dua hal ini akan menentukan peluang keterpilihan parpol di pemilu mendatang.
Hasil survei terakhir mencatat, tidak semua parpol mampu melampaui syarat ambang batas parlemen untuk masuk ke DPR, yang pada Pemilu 2019 besarnya 4 persen. Setidaknya hanya ada lima partai yang saat ini memenuhi syarat ini. Mereka adalah PDI-P (29,9 persen), Partai Gerindra (16 persen), PKB (6,3 persen), Partai Golkar (6,2 persen), dan Partai Demokrat (4,8 persen).
Di peringkat berikutnya, dengan mempertimbangkan angka simpangan survei (± 2,8 persen), diperkirakan Partai Nasdem (3,6 persen), PKS (3,3 persen), PPP (3,2 persen), PAN (2,3 persen), dan Perindo (1,5 persen) juga berpotensi mampu menembus ambang batas parlemen.
Dari lima partai yang lolos ambang batas, jika dibandingkan dengan hasil survei April lalu, Partai Demokrat dan Partai Gerindra mengalami kenaikan tingkat keterpilihan. Partai Demokrat naik 2 persen, sedangkan Gerindra naik hingga 5,1 persen. Keterpilihan PKB juga meningkat 1,4 persen. Sebaliknya, elektabilitas PDI-P turun 3,4 persen. Penurunan juga dialami Golkar sebesar 1 persen.
Sementara itu, ada lima parpol yang elektabilitasnya kurang dari 1 persen (PBB, PKPI, Partai Garuda, PSI, dan Partai Berkarya).
Pemilih loyal
Sumber modal keterpilihan yang pertama bagi parpol adalah memiliki pemilih loyal atau pemilih yang setia. Namun, karakter pemilih bimbang (swing voters) di Indonesia cenderung masih tinggi. Hal ini dibuktikan dengan hasil pemilu sejak era reformasi yang menghasilkan pemenang yang selalu berubah. Fenomena ini juga tidak lepas dari masih relatif rendahnya identitas kepartaian di Indonesia. Hal ini juga berkontribusi pada lemahnya relasi politik antara parpol dan pemilihnya.
Namun, jika melihat tren dari survei April lalu dan Oktober ini, ada gejala peningkatan jumlah pemilih yang setia dan mantap pada pilihannya (strong voters). Rata-rata proporsi pemilih yang loyal dengan pilihannya ini sudah mencapai separuh dari pemilih tiap-tiap parpol.
Jika dibedah lagi dengan pertanyaan sejauh mana loyalitas pemilih parpol ini dengan loyalitas pilihannya terhadap pasangan capres dan cawapres, tampak hanya ada tiga parpol yang proporsi pemilihnya di atas 35 persen yang sama-sama kuat loyalitas pada pilihannya, baik untuk memilih parpol maupun dalam memilih presiden. Ketiga parpol itu adalah PDI-P, Partai Gerindra, dan PKB. PDI-P memiliki potensi pemilih double strong voters ini sampai 44,8 persen, disusul Gerindra 39,5 persen, dan PKB 37,7 persen.
Efek ekor jas
Modal kesetiaan terhadap pilihan parpol dan capres ini pada akhirnya mengarah pada sumber modal kedua bagi tingkat keterpilihan parpol, yaitu efek elektoral pilpres atau biasa dikenal dengan efek ekor jas (coat-tail effect).
Pendekatan efek ekor jas ini mulai dikenal sejak terpilihnya Warren Harding sebagai Presiden Amerika Serikat pada 1921. Ia menang terutama karena karisma dan pesonanya. Bahkan, dengan dia menyibak jasnya saja, orang akan terkesima. Dari sinilah muncul istilah coat-tail effect atau efek ekor jas.
Dari pendekatan psikologi politik, efek ini dimaknai bahwa semakin tinggi popularitas dan elektabilitas capres diyakini akan mendongkrak elektabilitas parpol yang mengidentifikasikan diri dengan capres tersebut.
Fenomena ini pernah terjadi di Indonesia. Pada Pemilu 2004, Partai Demokrat yang baru berdiri tahun 2001 berhasil jadi partai menengah dengan perolehan suara 7,4 persen. Pada Pemilu 2009, suaranya bahkan melonjak jadi 20,4 persen dan memenangi pemilu. Sosok Susilo Bambang Yudhoyono diyakini punya pengaruh kuat dalam kesuksesan Partai Demokrat tersebut. Pemilih mengasosiasikan Partai Demokrat dengan figur Yudhoyono.
Dengan Pemilu 2019 yang digelar serentak, efek ekor jas tentu menjadi pertimbangan parpol. Di atas kertas, semakin sukses parpol mengidentikkan diri dengan sosok capres, pengaruh elektoralnya semakin besar.
Survei Kompas menangkap kecenderungan efek ekor jas ini lebih dirasakan oleh parpol yang selama ini lebih diasosiasikan dengan sosok capresnya. Dari kubu Joko Widodo-KH Ma’ruf Amin, PDI-P menjadi parpol yang mengalami efek ekor jas ini. Kondisi ini terlihat dalam survei kali ini. Menurunnya apresiasi publik terhadap kinerja Jokowi sebagai presiden sedikit banyak juga diikuti oleh turunnya elektabilitas PDI-P. Sebaliknya, di pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno, efek ekor jas lebih terjadi di Gerindra sebagai partai yang selama ini sangat diidentikkan dengan sosok Prabowo. Meningkatnya angka keterpilihan Prabowo berbanding lurus dengan peningkatan potensi suara Gerindra pada survei kali ini. PKB juga berpeluang mendapatkan efek ekor jas, tetapi cenderung bersumber dari sosok Ma’ruf Amin.
Akhirnya, loyalitas pemilih dan efek ekor jas dalam pilpres akan membuka pintu bagi keterpilihan partai di pemilu. Sekitar enam bulan ke depan, parpol harus terus menakar dan berhitung dengan cermat. Hasil hitungan akan menentukan di posisi mana parpol berada, di zona nyaman lolos ambang batas parlemen atau di zona lain.