Meluaskan Ruang Prabowo-Sandi
Sebagai penantang petahana, jelas tidak ringan beban yang dipikul Prabowo Subianto. Apalagi, yang dihadapinya sosok Presiden Joko Widodo, yang hingga kini kinerja pemerintahannya kerap dinilai positif oleh bagian terbesar masyarakat. Oleh karena itu, hasil survei Litbang Kompas terbaru, yang menempatkan elektabilitas pasangan Joko Widodo-KH Ma’ruf Amin lebih tinggi, merupakan kewajaran realitas pertarungan politik.
Namun, hasil survei tersebut bukan titik akhir pertarungan politik. Dalam sisa waktu sekitar enam bulan hingga pemungutan suara Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019, masih terbuka kemungkinan bagi pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno membalikkan peta persaingan.
Becermin pada hasil survei, proporsi elektabilitas Prabowo-Sandi sebesar 32,7 persen. Dengan margin of error sebesar 2,8 persen, rentang elektabilitas pasangan ini diprediksi 29,9-35,5 persen. Hal ini menunjukkan masih belum maksimal capaian pasangan itu, setidaknya jika capaian Prabowo dalam Pilpres 2014 dijadikan ukuran. Saat itu, pasangan Prabowo-Hatta Rajasa mendapat 46,8 persen suara. Artinya, jika bersandar pada hasil survei saat ini, masih sekitar 10 persen ”pemilih lama” yang belum terkonsolidasikan Prabowo-Sandi.
Konsolidasi dukungan pemilih terhadap Prabowo-Sandi saat ini belum sepenuhnya solid. Guna mengejar capaian Prabowo-Hatta Rajasa pada Pemilu 2014 lalu ataupun dalam mengejar target memenangi pemilu kali ini, Prabowo-Sandi memerlukan upaya besar.
Pertanyaannya, di mana potensi ruang penguasaan baru bagi Prabowo-Sandi?
Berdasarkan hasil survei, peluang mengatasi ketertinggalan dapat dipenuhi dari para calon pemilih yang belum menentukan pilihannya (swing voters). Saat ini, survei mengindikasikan ada 14,7 persen responden pemilih yang bimbang atau belum bersikap.
Namun, mendapat suara dari swing voters bukan perkara ringan Saat ini, dari total pemilih yang belum bersikap, 24,3 persen cenderung memilih Jokowi-Ma’ruf. Sementara 13,6 persen cenderung memilih pasangan Prabowo-Sandi.
Peluang Prabowo-Sandi menguasai swing voters di beberapa wilayah tampak terbuka lebar. Berdasarkan hasil survei, sejumlah wilayah yang pernah dikuasai Prabowo dalam Pilpres 2014, seperti Aceh, Sumatera Barat, Gorontalo, dan Banten, masih menyisakan pemilih bimbang di atas 20 persen. Swing voters juga masih relatif tinggi di wilayah yang dikuasai pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla dalam Pemilu 2014, seperti DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Sulawesi Barat, dan Kalimantan Barat.
Selain menguasai swing voters, guna memenangi kontestasi, Prabowo-Sandi juga harus mampu membalikkan pilihan para pemilih yang sudah tertambat pada Jokowi-Ma’ruf.
Celah perubahan
Strategi membalikkan pilihan pemilih punya kerumitan tersendiri. Pasalnya, loyalitas pemilih dari setiap pasangan calon presiden kini menguat dan sudah mencapai dua pertiga bagian pemilih. Namun, di tengah arus penguatan loyalitas, ada sekitar sepertiga bagian pendukung Jokowi-Ma’ruf yang mungkin dapat berubah. Kini, persoalannya, bagaimana Prabowo-Sandi menyiasati peluang itu?
Sejauh ini, empat tahun beroposisi belum cukup kuat bagi Prabowo menandingi segenap kapital dan kinerja politik yang ditoreh petahana, yaitu Presiden Jokowi. Namun, saat ini, petahana juga harus menghadapi realitas pengelolaan kekuasaan yang bersinggungan dengan semua lini persoalan negeri, termasuk tekanan global yang semakin pelik dan dapat mengganggu ruang gerak.
Pada sisi sebaliknya, kondisi itu dapat memberikan alternatif peluang bagi perluasan ruang gerak Prabowo-Sandi. Peningkatan dukungan berpotensi terwujud jika basis dukungan terhadap Prabowo-Sandi semakin meluas. Dikatakan demikian, karena dari hasil survei, dibandingkan dengan karakteristik pendukung pasangan Jokowi-Ma’ruf, pola dukungan politik Prabowo-Sandi cenderung lebih tersegmentasi. Saat ini, karakteristik pendukung Prabowo-Sandi belum proporsional tersebar layaknya gambaran sosioekonomi, psikososial politik, ataupun konfigurasi geopolitik masyarakat di negeri ini.
Perbedaan paling signifikan terjadi pada karakteristik sosial pemilih. Pendukung Prabowo-Sandi cenderung elitis, bertumpu pada kalangan menengah ke atas. Sebaliknya, pendukung Jokowi-Ma’ruf bertumpu pada kalangan menengah ke bawah.
Dari sisi pendidikan, sekalipun sebagian besar dari kedua pasangan didukung para pemilih yang berpendidikan rendah, proporsi dukungan dari pemilih berpendidikan rendah pada pasangan Jokowi-Ma’ruf lebih besar. Sebaliknya, proporsi jenjang pendidikan menengah dan tinggi pendukung Prabowo-Sandi lebih besar. Begitu pula dalam karakteristik ekonomi. Pendukung Prabowo-Sandi bertumpu pada kalangan menengah yang relatif lebih tinggi dibandingkan proporsi pendukung Jokowi-Ma’ruf.
Memiliki barisan pendukung lapisan menengah ke atas di satu sisi menjadi keuntungan politik tersendiri. Dari sisi penguasaan arus informasi politik, misalnya, kalangan ini cenderung lebih dinamis dalam mengefektifkan penyebaran dan penyerapan informasi politik. Dalam berbagai kajian politik, kalangan demikian lebih banyak ditempatkan sebagai garda terdepan perubahan sosial dan politik. Namun, yang jadi persoalan, jumlahnya masih relatif lebih kecil dibandingkan lapisan menengah ke bawah. Artinya, jika hanya bertumpu pada basis dukungan kalangan menengah ke atas, tidak cukup besar peluang Prabowo-Sandi memenangi kontestasi.
Sejauh ini, memanfaatkan isu-isu ekonomi, seperti eksploitasi kenaikan harga bahan pokok dan makin tingginya nilai tukar dollar AS terhadap rupiah, menjadi strategi jitu bagi peningkatan dukungan kalangan menengah-bawah. Akan tetapi, realitas kenaikan harga barang kebutuhan pokok bersifat sporadis dan kurang signifikan. Apalagi, Presiden Jokowi semakin lekat menjaga kalangan yang menjadi basis pendukungnya. Dengan menangguhkan kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi, stabilitas harga barang kebutuhan berpotensi terjaga.
Kecenderungan dukungan Prabowo-Sandi yang tersegmentasi juga tampak pada sisi psikososial masyarakat. Individu-individu yang cenderung konservatif dalam politik ataupun sosial lebih cenderung bertumpu kepada Prabowo-Sandi. Sementara pendukung Jokowi-Ma’ruf relatif tersebar, lebih banyak mengakomodasikan kalangan yang cenderung moderat tanpa menegasikan yang konservatif.
Pendukung yang cenderung konservatif semacam ini menjadi signifikan jika diamati pada wilayah sebaran pendukung Prabowo-Sandi. Meski di sejumlah daerah terdapat peralihan dukungan kepada Jokowi-Ma’ruf, Prabowo-Sandi masih mampu bertahan di beberapa wilayah yang menjadi basis keunggulan Prabowo dalam Pemilu 2014. Jawa Barat, wilayah dengan jumlah pemilih terbanyak, masih relatif dikuasai. Di wilayah pusat kekuasaan negara, seperti DKI serta kota/kabupaten di Jawa Barat dan Banten yang berbatasan dengan DKI, dukungan Prabowo-Sandi masih signifikan. Besaran dukungan di semua wilayah itu berelasi dengan karakteristik psikososial pendukung yang cenderung konservatif.
Dalam kondisi ini, tersegmentasinya dukungan Prabowo-Sandi terbukti berpotensi menguatkan loyalitas pendukung. Akan tetapi, dalam konteks memenangi pertarungan politik, perluasan dukungan masih diperlukan Prabowo-Sandi.