JAKARTA, KOMPAS - Pungutan liar masif terjadi di sektor pelayanan publik, baik di tingkat kementerian/lembaga atau pemerintah daerah dari kecamatan hingga kelurahan. Peran inspektorat dan kepala daerah sangat penting untuk menghilangkan budaya pungli yang bisa mengarah perilaku koruptif itu.
Berdasarkan data Satuan Ttugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Satgas Saber Pungli) periode 28 Oktober 2016 hingga 15 Oktober 2018, setidaknya ada 36.427 aduan pungli, baik melalui pesan pendek, surat elektronik, maupun aduan langsung. Angka itu didominasi oleh pengaduan pelayanan masyarakat mencapai 52 persen. Kemudian, laporan pungli ada di sektor pendidikan (20 persen), hukum (8 persen), perizinan (5 persen), kepegawaian (5 persen), serta pengadaan barang dan jasa (5 persen).
Apabila ditelaah lebih dalam, instansi yang paling banyak dilaporkan oleh masyarakat meliputi Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Polri, Kementerian Perhubungan, serta Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional.
Sekretaris Satgas Saber Pungli Pusat Inpektur Jenderal Widiyanto Poesoko mengatakan, sikap permisif pada praktik pungli itu dapat mengancam integritas birokrasi dalam upaya pemberantasan korupsi.
"Mungkin sekarang nominal yang dipungli kecil, mengurus perizinan semula hanya Rp 100.000. Tetapi kalau didiamkan bisa makin naik, makin bahaya. Harus cepat diberantas sejak kecil agar tidak berkembang jauh menjadi budaya korupsi di birokrasi," ujar Widiyanto, di Jakarta, Selasa (23/10/2018).
Dari ramainya aduan itu, Satgas Saber Pungli pun melaksanakan operasi tangkap tangan melalui unit pemberantasan pungutan liar (UPP) di sejumlah intansi pemerintahan. Setidaknya tercatat, ada 7.439 kegiatan operasi dilakukan dengan jumlah tersangka sebanyak 12.146 orang. Adapun, jumlah barang bukti berupa uang hasil operasi tersebut sejumlah Rp 320.383.208.582.
Namun demikian, tidak semua operasi tangkap tangan itu diajukan ke pengadilan. Hampir 50 persen dari hasil operasi Satgas Saber Pungli dikembalikan ke institusi yang bersangkutan untuk dijatuhi sanksi administrasi.
Widiyanto menjelaskan, sejumlah perkara yang tidak diproses hukum tidak sebanding dengan pungutan liarnya. "Apalagi yang dimasukin ke pengadilan biayanya banyak banget, satu kasus bisa Rp 200 juta, tetapi barang bukti cuma Rp 10 juta, kan berat. Jadi kami imbau ke instansi masing-masing untuk beri sanksi tegas," tuturnya.
Sanksi tegas itu bisa berupa, dimutasi dari jabatan, dicopot dari jabatan, atau ditunda kenaikan pangkatnya. "Jadi, harus dibikin jera agar tidak terulang lagi," lanjut Widiyanto.
Kendala
Namun demikian, upaya itu dinilai masih belum maksimal karena anggaran dan jumlah personel Satgas Saber Pungli tidak memadai.
Jumlah personel Satgas Saber Pungli mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Mulai tahun 2016, anggota Satgas Saber Pungli ada 228 orang, dan tahun 2017 menjadi 247 anggota, sedangkan untuk tahun 2018 hanya ada 99 anggota. Selain itu, dukungan anggaran pun menurun drastis dari tahun 2017 sebanyak Rp 30,57 miliar menjadi Rp 9,7 miliar untuk tahun 2018.
Menurut Widiyanto, kedua hal itu menjadi hambatan bagi tim Satgas Saber Pungli untuk bisa menindaklanjuti semua aduan pungli oleh masyarakat. "Sekarang kasusnya kan banyak, yang laporan ke kami puluhan ribu, sekarang bagaimana kami mau menanggapi semua, paling baru beberapa kasus saja yang kami tangani karena dana dan personelnya tak ada, gimana? Kami bergerak, misal dari Jakarta, tetapi kasus di Jambi atau Kalimantan, kan perlu operasional juga," katanya.
Sementara itu, Komisioner Ombudsman RI (ORI) Laode Ida, menuturkan, maraknya aksi pungli di sektor pelayanan publik lantaran kementerian/lembaga dan pemda belum memaksimalkan fungsi inspektorat pengawasan internal. Menurut dia, aparatur pengawas internal pemerintah (APIP) harus mulai berani menindak praktik pungli.
"Inspektorat itu, kan, sama sekali tidak berfungsi. Keberaniannya kurang. Karena ada di bawa kepala daerah, jadi tidak mandiri," kata Laode.
Karena itu, menurut Laode, kunci pembenahan ada di kepala daerah. Kepala daerah harus mampu mengawasi secara ketat pelaksanaan pelayanan publik hingga tingkat bawah, yakni kecamatan dan kelurahan.
"Kepala daerah harus tegas karena di daerah memang sekarang masih banyak praktik pungli. Banyak yang tak terkontrol karena jauh dari pengawasan kepala daerah," ujar Laode.
Ironisnya, lanjut Laode, kepala daerah rentan ikut dalam praktik pungli itu. Pemberantasan pungli perlu ada sinergitas tim Satgas Saber Pungli dengan Komisi Pemberantasan Korupsi.
"Praktik pungli ini bisa jadi bahaya karena bisa menjadi kesempatan kepala daerah memberikan perizinan-perizinan ilegal untuk mengisi pundi-pundinya. Pundi-pundi itu tentu tak terlepas dari sistem perpolitikan kita yang butuh biaya politik yang besar," tutur Laode.
Selain itu, solusi kedua untuk meminimalisir praktik pungli, kata Laode, adalah perlu adanya aturan yang jelas di kecamatan dan kelurahan dalam kaitan pemberian pelayanan masyarakat atau perizinan di daerah, seperti kepastian syarat perizinan, lamanya proses perizinan, dan biaya perizinan.
"Jadi, ketika segala prosesnya gratis ya harus gratis. Jelas aturannya dan itu yang dipatuhi baik masyarakat maupun aparatur pemda," kataya.