DEPOK, KOMPAS - Kreatifitas ilmiah dan inovasi tidak bisa tumbuh di kampus jika tidak ditopang dengan adanya toleransi. Untuk itu, nilai-nilai toleransi perlu ditumbuhkan di kampus karena masih adanya kaum terdidik yang kerap mengeluarkan ujaran kebencian di kehidupan nyata dan media sosial.
Hal itu mengemuka dalam Seminar "Penguatan Nilai Pancasila dalam Mewujudkan Indonesia Toleran dan Bermartabat". yang diadakan oleh Ikatan Keluarga Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Kamis (25/10/2018).
Guru Besar Hukum Tata Negara UI Jimly Asshiddiqie mengatakan, suasana toleransi akan berdampak pada suasana belajar yang terbuka. "Kalau tidak tumbuh suasana toleransi, seperti saling menghormati dan saling menghargai, perbedaan pendapat dalam dunia akademis bukan lagi kemewahan," ujar Jimly.
Menurut dia, ruh perguruan tinggi adalah adanya perdebatan akademis yang dianggap sebagai rahmat dan kekuatan. Spirit itu perlu ditumbuhkan agar pikiran terbuka tumbuh di kalangan akademisi dan harapannya terbawa hingga ke luar kampus.
Jimly mengatakan, kampus terancam kehilangan roh sepirit ilmiah karena bercampur dengan kepentingan politik. Hal itu terlihat, salah satunya, dengan adanya perebutan kekuasaan jabatan rektor. Oleh karena itu, sistem pemilihan rektor di perguruan tinggi perlu direformasi. Hak suara Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi sebesar 35 persen untuk memilih rektor perguruan tinggi negeri perlu dikaji ulang.
Menurut Jimly, hal itu membuat spirit ilmiah kampus tercederai oleh kepentingan-kepentingan jabatan. Ia berpendapat, perguruan tinggi jangan dipersepsi sebagai lembaga politik. "Jabatan sudah diperebutkan di luar kampus. Di kampus seharusnya tidak diperebutkan. Kampus fokus dengan kajian-kajian ilmiah," katanya.
Ia mengatakan, peran kampus perlu direkonstruksi pemaknaannya dalam dunia politik. Hal itu diperlukan agar politisi tidak memanfaatkan kampus untuk kepentingan politik.
Narasi damai
Kampus perlu berperan dalam menciptakan narasi tandingan untuk melawan narasi intoleransi. Narasi damai yang masif di media sosial diperlukan untuk membakar rasa benci yang mudah menyebar di dunia maya.
Direktur Eksekutif Wahid Fondation Mujtaba Hamdi mengatakan, dalam realitas sosial saat ini, selain diskusi ilmiah, masyarakat kampus perlu lebih banyak menghadirkan narasi damai di media sosial. Pada masa pemilihan umum, sentimen suku, agama, ras, dan antargolongan kerap dimanfaatkan politisi untuk menjatuhkan lawan politik.
"Niat awalnya mendulang suara, tetapi hal ini berdampak sosial. Mereka menyebarkan di media sosial dan banyak yang merespon, sehingga terjadi kegaduhan di media sosial," katanya.
Pelaksana tugas Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Hariyono mengatakan, tantangan kampus saat ini adalah mengarusutamakan nilai Pancasila ketika ada potensi perpecahan di masyarakat. "Pancasila bukan mitos, tetapi logos. Kampus memiliki peran mencerahkan masyarakat melalui dimensi epistemologi Pancasila," kata Hariyono. (Sucipto)
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.