JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi tidak mengubah pendiriannya mengenai konstitusionalitas ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold. Ketentuan mengenai ambang batas yang diatur di dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu itu dinilai tidak bertentangan dengan konstitusi serta mendorong terwujudnya sistem presidensial yang kuat serta penyederhanaan partai politik.
MK dalam pertimbangan putusannya atas perkara Nomor 49/PUU-XVI/2018, yang diajukan 12 pemohon perseorangan dan institusi, menyebutkan, MK tidak bisa mengubah pendiriannya mengenai konstitusionalitas ambang batas pencalonan presiden. MK merujuk kembali pada putusan-putusan terdahulu yang menyebutkan presidential threshold (PT) konstitusional. Salah satunya yang dirujuk kembali MK adalah putusan Nomor 53/PUU-XV/2017.
”Bahwa dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017, berkenaan dengan konstitusionalitas Pasal 222 UU Pemilu, sekalipun terdapat dua hakim konstitusi mempunyai pendapat berbeda (dalam hal ini hakim konstitusi Suhartoyo dan hakim konstitusi Saldi Isra), Mahkamah telah secara komprehensif mempertimbangkan konstitusionalitas Pasal 222 UU Pemilu dimaksud, termasuk menegaskan kembali pendiriannya sebagaimana tertuang dalam putusan-putusan sebelumnya,” kata hakim konstitusi Arief Hidayat dalam pertimbangan yang dibacakannya, Kamis (25/10/2018) di Jakarta dalam sidang pembacaan putusan yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman.
Dalam putusan itu, MK kembali menegaskan presidential threshold telah sesuai dengan desain konstitusi yang menginginkan penguatan sistem presidensial, menghindarkan sistem presidensial rasa parlementer, dan mendorong penyederhanaan partai politik.
”Dengan sejak awal diberlakukannya persyaratan jumlah minimum perolehan suara partai politik atau gabungan partai politik untuk dapat mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden, berarti sejak awal pula dua kondisi bagi hadirnya penguatan sistem presidensial diharapkan terpenuhi. Pertama, upaya pemenuhan kecukupan dukungan suara partai politik atau gabungan partai politik pendukung pasangan calon presiden dan wakil presiden di DPR, dan, kedua, penyederhanaan jumlah partai politik,” kata Arief.
Mahkamah menolak mengubah pendiriannya atas konstitusionalitas Pasal 222 tersebut karena argumentasi yang diajukan pemohon semuanya telah dijawab dan diantisipasi putusan-putusan MK terdahulu mengenai persoalan yang sama.
Selain menolak permohonan uji materi 12 pemohon, antara lain Busyro Muqoddas, Hadar Nasfis Gumay, Bambang Widjojanto, Feri Amsari, serta Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), MK dalam putusannya kemarin juga menolak permohonan yang diajukan Effendi Gazali dalam pasal yang sama.
Berbeda dengan permohonan yang diajukan 12 pemohon, Effendi mendalilkan adanya manipulasi suara pemilih dalam Pemilu 2014. Pasal 222 UU Pemilu menggunakan hasil Pemilu 2014 sebagai dasar dalam penentuan ambang batas bagi parpol yang bisa mengajukan capres dan cawapres. Penggunaan hasil Pemilu 2014 sebagai dasar penentuan PT itu dinilai membohongi publik karena publik sebelumnya tidak diberikan informasi mengenai akan digunakannya suara mereka dalam presidential threshold Pemilu 2019.
”Semangat penggunaan hasil pemilihan sebelumnya sebagai acuan, meskipun tidak persis sama, bukanlah sesuatu yang sama sekali baru sehingga tidak beralasan apabila hal itu dikatakan sebagai pembohongan dan manipulasi suara rakyat pemilih,” kata hakim konstitusi I Dewa Gede Palguna dalam pertimbangannya.
Atas putusan MK yang menolak permohonan uji materi UU Pemilu, kuasa hukum 12 pemohon, Denny Indrayana, mengatakan, pihaknya menghormati putusan MK. Namun, ia menyayangkan, MK tidak memutus perkara itu sebelum pendaftaran capres dan cawapres. Isu presidential threshold dianggap sebagai suatu hal yang ditunggu-tunggu publik.
”Kami catat sebelumnya MK lebih aktif dan cenderung menangkap aspirasi publik dalam persoalan-persoalan yang mendesak. Banyak sekali putusan MK yang menjadi solusi. Sayangnya, dalam putusan ini, MK tidak mengambil momentum itu sehingga nantinya bisa menghadirkan pemilu yang lebih menarik, variatif, dan banyak capres,” katanya.
Denny tetap berpandangan presidential threshold bertentangan dengan konstitusi karena di dalam UUD 1945 tidak ada satu kata pun mengenai syarat ambang batas itu. Terlebih lagi syarat itu dikaitkan dengan hasil pemilu legislatif lima tahun lalu.