JAKARTA, KOMPAS Sikap intoleran terhadap kelompok yang berbeda tak hanya muncul dalam ekspresi kehidupan sosial atau keseharian masyarakat, tetapi kini dominan tampak dalam kehidupan politik. Apabila tidak dikendalikan, politisasi agama pun dikhawatirkan akan menjadi katalisator bagi intoleransi yang menguat di tengah kehidupan masyarakat yang majemuk.
Cerminan tentang menguatnya intoleransi dalam politik itu mengemuka dari hasil kajian Kedeputian Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang dipaparkan di Jakarta, Selasa (30/10/2018). Paparan hasil kajian bertema ”Intoleransi dan Radikalisme di Indonesia” itu disampaikan tiga peneliti LIPI, yakni Sari Seftiani (penelitian kuantitatif), Yogi Setya Permana (penelitian kualitatif), serta Purnama Alamsyah (kajian jaringan media dan analisis wacana).
Hadir pula dua penanggap, yakni Rois Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Ahmad Ishomuddin dan Direktur Center for Religious and Cross- Cultural Studies (CRCS) Zainal Abidin Bagir.
Dari kajian kuantitatif LIPI yang dilakukan di DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, DI Yogyakarta, dan Aceh, fenomena intoleransi politik itu muncul. Sekitar 58,4 persen dari 1.800 responden mengaku lebih percaya kepada pemimpin yang seagama. Ada pula proporsi yang cukup tinggi dari 42,5 persen responden yang menyetujui peraturan daerah syariah diterapkan di suatu wilayah kendati wilayah itu ditempati masyarakat dengan kepercayaan yang beragam.
Kecenderungan itu juga didapati ketika responden ditanyai pendapatnya tentang pemimpin politik. Sebanyak 46 persen responden setuju jika gubernur yang terpilih seagama dengan mereka dan 44,9 persen setuju jika presiden terpilih seagama dengan responden.
Kecenderungan untuk memilih pemimpin dengan keyakinan yang sama itu bahkan didapati di unit wilayah terkecil, semisal ketua rukun tetangga (RT). Ada 46,2 persen setuju ketua RT menganut agama yang sama dengan mereka dan ada 47,7 persen responden yang hanya menerima lurah yang sama agamanya.
Sari mengatakan, kajian itu menunjukkan kecenderungan intoleransi dalam pilihan politik responden. Kendati rata-rata persentase masih di bawah 50 persen dari kelompok yang diteliti, hal ini menunjukkan kecenderungan yang menguat lantaran jumlahnya dominan dalam setiap unit penelitian.
”Hal yang sedikit berbeda ditemui ketika responden ditanyai tentang apakah mereka keberatan jika pemimpin mereka beretnis atau bersuku yang berbeda dengan mereka. Penolakan responden cenderung lebih kecil,” ujarnya.
Empat faktor
Dalam analisis kualitatif, Yogi menilai data kuantitatif itu tidak berdiri sendiri karena dipengaruhi sejumlah faktor. Kajian LIPI setidaknya menemukan empat faktor yang turut memperkuat cerminan intoleransi dalam pilihan politik, yakni media sosial, fanatisme, religiusitas, dan sekulerisme.
”Menguatnya sentimen konservatisme agama di masyarakat bukan hanya ekspresi kultural dan ideologi. Sebab, lebih jauh hal ini rentan dimanfaatkan oleh aktor-aktor, seperti yang terjadi di Sumut dan Jabar, yakni political entrepreneur untuk mendulang keuntungan berupa raihan suara,” ujarnya.
Agama rentan dipolitisasi karena merupakan sarana yang paling mudah meraup suara di tengah menguatnya sentimen konservatisme agama di masyarakat. Di sisi lain, menurut Yogi, saat ini mulai tumbuh ekosistem yang memudahkan transformasi otoritas religius untuk masuk ke ranah politik yang belum ditemui dalam dua dekade lalu.
Ishomuddin memberikan catatan, pilihan warga terhadap pemimpin politik yang seagama tidak serta-merta bisa dikategorikan intoleran. ”Memilih pemimpin hak setiap orang. Namun, jangan atas dasar agama lantas orang berbeda agama haknya dirampas hingga tidak bisa berkontestasi politik,” katanya.
Menanggapi hasil kajian LIPI, Zainal Bagir mengatakan, sikap toleransi tidak bersifat statis. Artinya, kajian itu juga harus mampu memetakan sejauh mana sikap toleran bisa berbeda responsnya terhadap satu kondisi lain. ”Toleransi selalu ada kaitannya dengan konteks kehidupan masyarakat. Pada satu sisi orang mungkin bersikap toleran, tetapi kadang ketika menghadapi situasi dan kondisi yang berbeda toleransi itu mungkin bergeser,” katanya.
Ketua Tim Peneliti LIPI Cahyo Pamungkas mengatakan, berkaca dari hasil kajian LIPI tersebut, pihaknya berharap isu agama diminimalkan dalam Pemilu 2019. Apabila tidak dikendalikan, intoleransi di bidang politik dikhawatirkan merusak toleransi dalam kehidupan sosial masyarakat yang selama ini relatif terjaga dengan baik.