Sepahit apapun pengalaman, berbagi kisah kerap menjadi salah satu cara menyembuhkan luka. Dari cerita, proses saling memahami di antara korban dan pelaku teror pun tumbuh meskipun butuh waktu lama.
Ni Luh Erniati (47), harus merelakan suaminya yang meninggal dunia akibat Bom Bali I pada 2002. Suaminya meninggal dunia ketika sedang bekerja di Sari Club di Kuta. Setelah kejadian itu, ia harus menjalani hidup dari awal bersama dua anaknya yang berusia 1,5 tahun dan 9 tahun.
Oleh Aliansi Indonesia Damai, organisasi nonpemerintah yang aktif mendorong perlindungan terhadap korban aksi teror dan rekonsiliasi, pada 2005, Ni Luh dipertemukan dengan salah satu anggota jaringan Jamaah Islamiyah, Ali Fauzi. Dia adalah salah satu orang yang berperan merakit bom dalam aksi teror di beberapa negara, seperti Filipina, Indonesia, dan Suriah. Ia merupakan adik kandung dari Amrozi dan Ali Imron.
"Awal bertemu, perasaan campur aduk. Tetapi saya bisa menceritakan perasaan dan apa yang saya alami. Saya jadi sedikit lega," kata Ni Luh saat seminar bertajuk "Belajar dari Rekonsiliasi Korban dan Mantan Pelaku Terorisme", di Jakarta, Kamis (1/11/2018).
Setelah pertemuan pertama itu, lanjut Ni Luh, ia dan Ali Fauzi sering berkomunikasi dan bertemu dalam kegiatan diskusi atau seminar tentang terorisme. Ni Luh jadi bisa mengenal Ali Fauzi dan melihat kesungguhannya untuk berubah menjadi pribadi yang lebih baik.
"Begitu penting perasaan saling memaafkan. Jika kita bersaudara, tidak ada beban. Ketika kebencian hilang, beban hidup menjadi lebih ringan," katanya.
Ni Luh pun memiliki semangat untuk bangkit dari keterpurukan. Ia berkumpul bersama penyintas Bom Bali lain. Dibantu oleh beberapa orang Australia di Bali, ia membuat kegiatan usaha menjahit untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Ni Luh yang tidak memiliki keahlian menjahit benar-benar belajar dari awal.
"Beban yang ada berubah menjadi motivasi untuk bangkit. Saya harus membuktikan bahwa saya bisa menjaga kedua anak saya sampai besar," katanya.
Derita orang lain
Saat mendengar kisah-kisah penyintas aksi teror, perlahan pandangan Ali Fauzi berubah. Ia bisa merasakan derita korban. Bahkan, ia membentuk Yayasan Lingkar Perdamaian yang memberi pembinaan bagi mantan pelaku terorisme.
"Dari berbagi kisah, saya jadi tahu bahwa banyak orang yang terluka fisik dan batin pasca teror," ujar Ali.
Pertemuan-pertemuan itu melenyapkan kebanggaan terhadap ilmu merakit bom yang ia kuasai. Bertemu orang dengan berbagai latar belakang, membuat Ali sadar bahwa hidup damai berdampingan adalah keindahan. Hal itu yang tidak pernah ia lakukan ketika ada di dalam jaringan teroris.
Ali kini juga tengah menyelesaikan pendidikan untuk mendapat gelar doktor. "Dari senjata beralih ke pulpen dan laptop," katanya.
Hingga saat ini, Ali dan Ni Luh memiliki program diskusi dan seminar keliling ke kampus, sekolah, dan berbagai tempat lain. Bersama Aliansi Indonesia Damai (Aida), mereka berbagi kisah dengan misi perdamaian.
Direktur Aida Hadibullah Satrawi mengatakan, kisah Ali dan Ni Luh mengajarkan bahwa sejatinya hidup tidak cukup merasa benar sendiri. "Indonesia tidak akan pecah kalau orang tidak memandang yang lain sebagai musuh," ujarnya.
Kisah di muka menggambarkan bahwa di tengah persoalan dan konflik, tatap muka dan komunikasi dapat mencairkan kebekuan. (Sucipto)
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.