JAKARTA, KOMPAS — Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Syafruddin memastikan pemerintah tidak menafikan jasa para tenaga honorer yang telah bekerja dan berkeringat selama ini. Namun, dalam penyelesaiannya, pemerintah harus memperhatikan kondisi dan kebutuhan obyektif bangsa serta sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
”Pemerintah terus memberikan perhatian serius terhadap nasib honorer di Indonesia. Sampai tahun 2014, pemerintah sudah mengambil langkah-langkah yang cukup masif dan progresif dengan mengangkat secara otomatis 900.000 lebih tenaga honorer kategori satu dan sekitar 200.000 tenaga honorer kategori dua menjadi PNS,” ujar Syafruddin di Jakarta, Jumat (2/11/2018).
Jadi, secara hukum (de jure) sebenarnya permasalahan tenaga honorer kategori (THK) 2 sudah selesai dan harus sudah diahiri pada 2014 sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2012, tetapi 439.000 lebih THK 2 yang tidak lulus seleksi pada 2013.
Menurut Syafruddin, sampai 2014, pemerintah sudah mengambil langkah-langkah yang cukup masif dan progresif dengan mengangkat secara otomatis 900.000 lebih THK 1 dan sekitar 200.000 THK 2 menjadi PNS.
”Jadi apabila rujukannya hukum karena kita adalah negara hukum, permasalahan honorer seharusnya sudah selesai tahun 2014 seiring dengan diangkatnya lebih kurang 1,1 juta THK 1 dan THK 2 menjadi PNS,” kata Syafruddin.
Lebih lanjut diterangkan bahwa dampak dari kebijakan tersebut saat ini komposisi PNS didominasi oleh eks THK 1 dan THK 2. Dari 4,3 juta lebih PNS, sebesar 26 persen terdiri dari eks THK 1 dan THK 2 yang sebagian besarnya diangkat secara otomatis tanpa tes.
Dalam penyelesaiannya, pemeritah harus memperhatikan kondisi dan kebutuhan obyektif bangsa serta sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu, pemerintah telah menyiapkan skema penyelesaian sebagai berikut. Pertama, pemerintah mengupayakan untuk meningkatkan kualitas dan kompetensi SDM ASN secara berkelanjutan yang saat ini raw input-nya 26 persen berasal dari tenaga honorer yang diangkat tanpa tes.
Kedua, pemerintah memperhatikan peraturan perundang-undangan yang saat ini berlaku, antara lain UU ASN yang mensyaratkan usia maksimal 35 tahun, serta harus ada perencanaan kebutuhan dan harus melalui seleksi; UU Guru dan Dosen yang mensyaratkan guru minimal harus S-1; dan UU Tenaga Kesehatan yang mensyaratkan tenaga kesehatan minimal harus D-3.
Ketiga, dengan pertimbangan hal tersebut di atas, pemerintah bersama delapan Komisi di DPR telah menyepakati skema penyelesaian tenaga honorer eks THK 2 bahwa bagi yang memenuhi persyaratan menjadi PNS disediakan formasi khusus eks THK 2 dalam seleksi pengadaan CPNS 2018.
Sementara bagi yang tidak mememuhi persyaratan untuk menjadi PNS tetapi memenuhi persyaratan menjadi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (P3K) akan diproses menjadi P3K (P3K adalah pegawai ASN). Bagi yang tidak memenuhi persyaratan menjadi PNS dan P3K tetapi daerahnya masih membutuhkan, yang bersangkutan tetap bekerja dan daerah diwajibkan memberikan honor yang layak, minimal sama dengan upah minimum kota/kabupaten (UMK).
Syafruddin menambahkan bahwa setelah selesai pengadaan CPNS 2018, pemerintah akan segera memproses pengadaan P3K.
”Kami mohon pengertian dari semua pihak. Permasalahan honorer eks THK 2 ini rumit dan kompleks. Penyelesaiannya tidak seperti membalikkan telapak tangan. Namun, pemerintah akan terus berupaya melakukan penyelesaian secara komprehensif tanpa memicu timbulnya permasalahan baru. Apalagi saat ini kita dihadapkan pada persaingan global di era industri 4.0 dan tingginya ekspektasi masyarakat terhadap peningkatan kualitas pelayanan publik, strateginya pemerintah harus menyiapkan ASN yang berdaya saing tinggi,” ujarnya.