JAKARTA, KOMPAS – Ada berbagai elemen yang harus diperbaiki dalam konsep dan implementasi sinergi dan soliditas TNI dan Polri. Sinergi dan soliditas ini sangat dibutuhkan terutama untuk menghadapi berbagai ancaman keamanan nasional di masa depan yang batas antara pertahanan dan keamanan semakin kabur.
Para perwira yang sedang mengikuti pendidikan di Sekolah Staf dan Komando TNI AL angkatan ke-56 tahun 2018, memaparkan hasil kajiannya dalam Seminar Akhir yang diadakan di Seskoal, Kamis (1/11). Seminar Akhir tersebut juga dihadiri pembahas dari luar yaitu Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Satya Arinanto, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Makmuri Sukarno, dosen universitas pertahanan Kusnanto Anggoro dan Salim Said. Dari siswa Seskoal, presentasi dilakukan Mayor Marinir Tantahara dan Mayor Laut (P) Pungky Kurniawan.
Hasil kajian para siswa menyatakan, masih ada beberapa kendala terkait dengan konsep sinergi TNI dan Polri. Beberapa kendala yang dialami terkait dengan komunikasi, kepercayaan, dan ego sektoral. Aturan yang ada yaitu Peraturan Pemerintah nomor 16 tahun 1960 tentang Permintaan dan Pelaksanaan Bantuan Militer dianggap tidak sesuai lagi. Hal senada disampaikan dalam kajian tentang implementasi di mana masih banyak masalah pemahaman di lapangan.
Para siswa melihat, ada banyak kegiatan negara dimana sinergi TNI dan Polri sangat dibutuhkan. Misalnya, dalam pelaksanaan Pemilu 2019, sinergi TNI dan Polri sangat penting untuk membantu tugas KPU agar tercapai suasana yang damai, tertib dan aman. Demikian juga dengan kerja sama TNI-Polri dengan Badan Pengawasan Pemilu, termasuk dalam pengawasan dan penggunana media massa yang dianggap berkaitan dengan demokrasi dan kepemilikan modal. “Diharapkan pemerintah dan DPR segera membuat undang-undang turunan terkait perbantuan TNI,” kata Pungky.
Futuristik
Dalam tanggapannya, Kusnanto Anggoro menekankan pentingnya para siswa untuk berpikir futuristik. Ia menyepakati ada masalah regulasi yang tidak saja belum mengatur perbantuan TNI dan Polri, tetapi juga belum secara jelas memisahkan tugas pokok TNI dan Polri. Di sisi lain, Kusnanto menggarisbawahi bahwa regulasi berupa undang-undang perbantuan bukan satu-satunya jawaban atas seluruh persoalan yang ada. Ia berharap para perwira TNI terus menerus melakukan kajian, agar ada konsepsi dari internal TNI yang akan mengemuka terutama terkait masalah keamanan di masa depan. “Di masa depan, ancaman bersifat multi dimensi, ada kemajuan teknologi, dan kondisi postur pertahanan Indonesia yang belum bisa mengatasi kemungkinan ancaman tersebut,” kata Kusnanto.
Hal senada dikatakan oleh Salim Said yang mengatakan, memang masih banyak bolong dalam aturan-aturan untuk mengatur keamanan nasional. Ia berharap, pemerintah segera membuat peraturan pelaksanaan perbantuan TNI tersebut. Dalam kesempatan ini, Kusnanto juga mengkritik aturan berupa Memo Kesepakatan (MoU) yang dilakukan antara TNI dan berbagai instansi sipil. Menurutnya, MoU itu tidak kuat untuk menjadi dasar hukum. Selain itu, perbantuan TNI ke berbagai instansi sipil seakan hanya untuk merespon kebutuhan sesaat.
“Tugas TNI dan Polri harus jelas dulu, baru bisa sinergi,” tandas Salim. Ia menyayangkan berbagai persepsi terhadap TNI, bahwa kalau tidak ada perang berarti TNI menganggur. Padahal, ditugaskannya TNI pada tugas-tugas lain selain berlatih untuk perang akan melemahkan TNI. Kusnanto memberikan catatan bahwa perlu disusun landasan kebijakan yang lebih operasional dan punya legitimasi. “Kalau ada landasan hukum yang jelas, itu untuk melindungi TNI dari politisi-politisi,” kata Kusnanto.