DEPOK, KOMPAS – Bangsa Indonesia memerlukan sebuah strategi kebudayaan yang komprehensif agar pemahaman bahwa keberagaman menjadi kekuatan yang mengikat bangsa Indonesia terinternalisasi dan menjadi perilaku masyarakat. Jika hal ini bisa terwujud, maka berbagai persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia, mulai dari korupsi, intoleransi, radikalisme, bisa terselesaikan dengan sendirinya.
Strategi kebudayaan yang dimaksud, bukan hanya soal kesenian, tetapi fokus pada bagaimana menciptakan pola pikir yang sama bagi bangsa Indonesia dalam berbagai lini kehidupan, seperti pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan ketahanan pangan. Untuk itu, pertama-tama perlu ada pemilahan nilai yang disepakati bersama, misalnya gotong royong dan kemandirian, inklusivitas, untuk digunakan mencapai cita-cita bersama bangsa Indonesia.
“Kita ada (strategi), tetapi masih parsial sendiri-sendiri. Belum ada pemikiran yang komprehensif soal itu,” kata Wakil Rektor Universitas Indonesia yang juga Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya UI Bambang Wibawarta dalam Temu Akbar Mufakat Budaya Indonesia III 2018 “Apa dan Siapa Bangsa Indonesia Ini”, di Aula Terapung, Perpustakaan Universitas Indonesia, Kota Depok, Jawa Barat, Jumat (02/11/2018).
Diskusi tersebut dihadiri tiga pembicara lain, yakni Haidar Bagir, budayawan Muslim yang juga pendiri Penerbit Mizan, Suhadi Sendjaja, Ketua Umum Parisadha Buddha Dharma Niciren Syosyu Indonesia (NSI), serta Olivia Zalianty, aktivis Mufakat Budaya Indonesia.
Menurut Bambang, Indonesia memang sudah memiliki Undang-Undang tentang Pemajuan Kebudayaan, tetapi hal itu belum mencakup strategi untuk mengelola keberagaman untuk menjadi kekuatan. Dia menuturkan, beberapa negara maju di Asia, seperti Jepang dan Korea Selatan, sudah sejak lama mempunyai strategi kebudayaan yang komprehensif. Sekitar tahun 1970-an, ketika Korea Selatan memutuskan untuk menerobos dunia internasional, mereka sudah merencanakan dengan baik pembentukan karakter masyarakat melalui strategi kebudayaan, sehingga akhirnya bisa mendapat dampak ekonomi yang besar.
Bambang meyakini, jika pola pandang yang dibangun melalui strategi kebudayaan bisa dinternalisasi dengan baik kemudian diterapkan oleh masyarakat, maka banyak persoalan bangsa Indonesia bisa diatasi. Menurut dia, hal itu akan membuat individu-individu memahami nilai keindonesiaan, serta menumbuhkan kesadaran untuk merawat persatuan dan kebersamaan.
“Dengan memiliki nilai yang sama. Dengan sendirinya dia akan toleran. Dengan sendirinya dia akan merawat negerinya, tidak korupsi karena memahami itu akan merugikan bangsanya, merugikan orang lain. Otomatis akan terinternalisasi,” kata Bambang.
Bangsa Indonesia
Haidar Bagir menuturkan apa dan siapa bangsa Indonesia itu merupakan sebuah pilihan. Melihat bangsa Indonesia berarti juga melihat pluralisme, serta ada perasaan kebersamaan dan kesamaan. Orang dari budaya lain bisa ikut menyumbang sesuatu yang baik, sedangkan budaya yang khas tidak dihilangkan.
Haidar juga mendorong strategi kebudayaan keagamaan Indonesia diarahkan pada pemahaman keagamaan yang menyatu dengan kehidupan sehari-hari, bukan keagamaan yang berjarak. Sejak dulu, kata dia, Muslim di Nusantara menjadikan agama sebagai bagian dari dirinya secara eksistensial.
“Islam yang menyediakan gentong air, sehingga orang haus bisa minum. Islam itu senyum ke orang lain. Islam itu hidup damai dengan alam, dengan orang lain,” kata Haidar.
Sendjaja mengingatkan bahwa bangsa Indonesia ialah bangsa yang berketuhanan, berlandaskan pada kemanusiaan, bersatu sehingga bisa melakukan segala sesuatu dengan cara musyawarah mufakat. Selain itu, semua komponen bangsa punya keinginan untuk memberikan kebahagiaan bagi semua rakyat Indonesia. Oleh karena itu, dia menilai peran agama sangat mendasar untuk mewujudkan karakteristik bangsa Indonesia itu.
Para narasumber juga memahami bahwa globalisasi serta perkembangan teknologi yang masif ikut mempengaruhi kehidupan berkebangsaan dan memberi tantangan atas keindonesiaan. Di sisi lain, generasi milenial mengalami kegamangan dalam menghadapi masa depan.
“Karena itu penting agar, bagaimana generasi milenial ini bisa dirangsang melahirkan gagasan baru, bukan hanya mengikuti pendahulunya. Kita butuh sosok yang memperbaharui gagasan,” kata Olivia Zalianty.
Diskusi ini satu rangkaian dengan diskusi sebelumnya pada 18 Oktober 2018. Diskusi di Bentara Budaya Jakarta itu menghadirkan beberapa budayawan, yakni Radhar Panca Dahana, Eros Djarot, Mohammad Sobary, dan Taufik Abdullah. Dalam diskusi bertema “Memufakatkan Kebudayaan Indonesia: Apa Sebenarnya Kebudayaan Indonesia?”, para budayawan mengajak masyarakat Indonesia kembali mengenali potensi kultural nenek moyang yang bisa memberi kekuatan dan modal dalam menghadapi tantangan di masa kini.
Keterbukaan, kesetaraan, keberagaman, dan kerendahan hati yang menjadi karakteristik manusia Indonesia yang merupakan masyarakat bahari. Indonesia juga dinilai sudah mempunyai pijakan kebudayaan nasional, yakni Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Ketidakpahaman terhadap kebudayaan yang dicanangkan oleh para pendiri bangsa itu yang menyebabkan munculnya dilema kebudayaan, sehingga menimbulkan berbagai persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia.