Gugatan Intervensi Ditolak, KPK Ajukan Upaya Hukum
Oleh
Riana A Ibrahim
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Komisi Pemberantasan Korupsi akan mengajukan upaya hukum atas putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur yang menolak gugatan intervensi yang diajukan KPK dalam perkara gugatan perdata yang diajukan oleh tersangka korupsi pengadaan helikopter Augusta Westland 101. Pertengahan Oktober 2018 lalu, PN Jakarta Timur menyatakan penolakannya.
“Di kasus pengadaan Helikopter AW ini, KPK ditolak jadi pihak ketiga dengan alasan gugatan perdata yang diajukan tersangka hanya terkait dengan perjanjian antara para pihak. Padahal dalam penanganan kasus korupsi di tingkat penyidikan saat ini, justru KPK dan POM TNI menduga ada persoalan di balik perjanjian tersebut sehingga ada indikasi tindak pidana korupsi. KPK mempertimbangkan melakukan upaya hukum terhadap putusan sela ini,” kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah, di Jakarta, Minggu (4/11/2018).
Sebelumnya pada 23 Mei 2018, Irfan Kurnia Saleh yang merupakan tersangka perkara pengadaan Heli AW-101 ini mengajukan gugatan perdata dengan Nomor 252/Pdt.G/2018/PN. Jkt.Timur terhadap TNI AU, Kepala Staf TNI Angkatan Udara selaku kuasa pengguna anggaran (KPA), dan turut tergugat Menteri Pertahanan dan Menteri Keuangan. Pada pokoknya, Irfan meminta majelis hakim untuk menghukum para tergugat membayar ganti rugi sejumlah Rp 164,3 miliar atas perjanjian bisnis.
Dalam gugatan intervensi yang diajukan KPK terhadap gugatan Irfan tersebut, disampaikan justru perjanjian dalam pengadaan Heli AW-101 tersebut diduga menjadi bagian dari persoalan yang menimbulkan kerugian negara. Selain itu, dalam Kontrak Jual Beli Pengadaan heli tersebut, terdapat beberapa fakta hukum yang diduga adanya rekayasa harga saat lelang sehingga negara dirugikan.
“Jangan sampai, negara dirugikan lebih besar dari gugatan seperti ini. Lalu kemudian menjadi ruang bagi pelaku korupsi ke depan untuk meloloskan diri. KPK mempercayai independensi dan imparsialitas pengadilan yang menangani perkara ini ataupun perkara lain, khususnya yang terkait dengan tindak pidana korupsi yang ditangani KPK,” ujar Febri.
Sebelumnya, penyimpangan pengadaan kendaraan militer ini ditaksir merugikan negara hingga Rp 224 miliar kerugian negara yang ditimbulkan ditaksir mencapai Rp 224 miliar dari nilai proyek Rp 738 miliar. Ada lima tersangka dari militer dan satu tersangka dari pihak sipil yang kini diproses hukum. Kelima tersangka dari militer itu adalah Kepala Unit Layanan Pengadaan TNI AU Kolonel Kal FTS, Letnan Kolonel WW selaku pejabat pemegang kas, Marsma FA sebagai pejabat pembuat komitmen, Pelda S yang diduga menyalurkan dana, dan Marsda SB sebagai Asrena KSAU. Penanganan kelimanya dilakukan POM TNI, tetapi hingga saat ini tidak kunjung ada perkembangan.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Lokataru Foundation Haris Azhar menilai gugatan yang dilakukan KPK bisa saja dilakukan. Akan tetapi, argumentasi yang disampaikan juga perlu dilihat. “Unsur kerugian, korban, dan pertanggungjawabannya harus sesuai. Hakim pun dalam pertimbangannya perlu melihat unsur-unsur ini,” kata Haris.
Namun untuk kelanjutan perkara ini, ketegasan dan keterbukaan TNI menjadi keharusan. Laporan atau temuan KPK yang selama ini ada dapat menjadi petunjuk yang bisa dimanfaatkan TNI untuk mengungkap pelaku.
“Sepatutnya TNI segera umumkan apa tindakan mereka terhadap kejahatan ini. Kalau tidak, TNI akan dilihat atau dianggap sebagai bagian yang menikmati kejahatan ini tidak terungkap,” ujar Haris.