JAKARTA, KOMPAS - Selain fokus pada percepatan penuntasan perkara yang menumpuk, Mahkamah Agung dengan sistem kamarnya diharapkan juga mempertimbangkan mekanisme penanganan uji materi yang lebih transparan. Mekanisme uji materi di MA yang tertutup dan tidak melibatkan pihak-pihak yang berkepentingan untuk menyampaikan pendapatnya secara terbuka membuat akuntabilitas putusan uji materi dipertanyakan.
Pengajar Sekolah Tinggi Hukum (STH) Jentera Binziad Kadafi, Minggu (4/11/2018) di Jakarta mengatakan, pengaturan mekanisme uji materi itu seharusnya menjadi pemikiran dari kamar tata usaha negara (TUN) yang selama ini memegang perkara-perkara uji materi.
Usulan untuk membuat mekanisme uji materi di MA sama dengan mekanisme yang selama ini berjalan di Mahkamah Konstitusi (MK) mengemuka setelah MA mengabulkan uji materi terhadap Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 26 Tahun 2018 tentang syarat pencalonan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Putusan MA itu diduga bertentangan dengan putusan MK yang sebelumnya melarang pengurus partai politik menjadi calon anggota DPD.
“Perbaikan mekanisme uji materi seharusnya menjadi salah satu topik perhatian yang dipertimbangkan kamar TUN MA. Apakah pemeriksaan uji materi secara terbuka itu bisa dilakukan di MA ataukah tidak, sehingga semua pihak bisa mendapatkan kesempatan yang sama untuk mengutarakan pendapatnya,” ujar Binziad.
Mekanisme uji materi di MA seharusnya mempertimbangkan keseimbangan antara aksesibilitas, transaparansi, dan efektifitas penanganan perkara.
“Kalau mau terbuka semua seperti MK, akan cukup menyulitkan, karena uji materi di MA dilakukan untuk semua peraturan di bawah UU, sehingga sampai peraturan desa pun harus dibawa ke MA bila ada yang tidak setuju. Sebaiknya ada pemilahan perkara, perkara mana saja yang bisa diujikan secara terbuka, dan perkara mana yang langsung bisa diputus karena hakim telah memiliki keyakinan,” katanya.
Juru Bicara MA Suhadi sebelumnya mengatakan, mekanisme uji materi di MA selama ini pada dasarnya telah memberikan kesempatan semua pihak untuk berpendapat. Ada waktu masing-masing 14 hari kepada pemohon maupun termohon untuk menjelaskan pendapatnya secara tertulis mengenai ketentuan yang diuji materi ke MA.
“Bila pendapat tertulis dari para pihak telah diterima MA, hakim selanjutnya mempertimbangkan ketentuan itu, apakah sudah sesuai dengan UU ataukah belum,” ujarnya.
Hingga saat ini, putusan uji materi MA terhadap PKPU No 26/2018 belum dipublikasikan oleh MA. Para pihak pun belum mendapat salinan putusan. Putusan itu masih diminutasi.
Penyatuan kewenangan
Deputi Direktur Indonesian Legal Roundtable (ILR) Erwin Natosmal Oemar mengatakan, kelambatan dalam publikasi putusan juga sekali lagi menunjukkan sistem kamar yang berusaha dikembangkan MA masih menghadapi sejumlah kendala. Kondisi itu berbeda dengan mekanisme uji materi di MK dimana putusan langsung diserahkan kepada para pihak usai dibacakan.
Selain mengoptimalkan sistem kamar MA, usulan untuk menempatkan penanganan uji materi di dalam satu lembaga peradilan kembali mencuat.
Menyikapi usul tersebut, Juru Bicara MK Fajar Laksono Soeroso mengatakan, hal ini bisa saja dilakukan asal UU mengatur hal tersebut. MK sebagai lembaga peradilan konstitusi menyadari mekanisme pengujian peraturan perundang-undangan adalah bagian dari upaya harmonisasi peraturan perundang-undangan agar sesuai dengan amanat konstitusi.