JAKARTA, KOMPAS — Penyebaran hoaks semakin masif. Hal itu ditandai dengan kehadiran berita bohong dan disinformasi dalam bencana alam hingga peristiwa politik. Alhasil, seluruh elemen pemerintah dinilai perlu menyusun strategi bersama untuk mengantisipasi peredaran hoaks sekaligus meningkatkan pemahaman literasi masyarakat.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Dedi Prasetyo di Jakarta, Selasa (6/11/2018), mengungkapkan, dalam satu pekan terakhir, Badan Reserse Kriminal Polri menangkap 12 penyebar hoaks terkait kasus bohong penculikan anak dan kecelakaan pesawat Lion Air JT-160. Sebanyak 10 orang ditangkap terkait hoaks penculikan anak, yaitu DA (31), EW (31), RA (33), JHS (31), DNL (20), NU (23), OK (30), TK (34), NU (22), dan SU (28).
Sementara itu, dua orang lain, yakni AN (30) dan SU (33), diamankan kepolisian karena menyebarkan berita bohong terkait kecelakaan pesawat. Mereka ditangkap di sejumlah tempat terpisah, di antaranya Pasuruan (Jawa Timur), Blitar (Jawa Timur), Jakarta, dan Sukabumi (Jawa Barat). Seluruh tersangka itu disangkakan melanggar Pasal 14 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
Tak hanya Polri, Kementerian Komunikasi dan Informatika mencatat sepanjang Oktober 2018 terdapat 69 kabar bohong atau hoaks yang menyebar di masyarakat. Penyebaran dilakukan melalui media sosial dan aplikasi pesan. Konten hoaks pun beragam, seperti bencana alam susulan, buah berformalin, perang antardesa, hingga ujaran kebencian kepada tokoh politik.
Dedi menegaskan, penegakan hukum yang dilakukan kepada penyebar hoaks merupakan langkah antisipasi agar dampak hoaks itu tidak semakin menyebar di publik. Ia menekankan, Polri memprioritaskan penanganan hukum kepada seluruh pihak penyebar hoaks yang menyebabkan kerasahan di masyarakat.
”Dalam menyampaikan pendapat di muka umum setiap individu wajib menghormati hak dan kebebasan orang lain, menghormati aturan moral, menjaga ketertiban umum, menjaga keutuhan bangsa, dan menaati hukum yang berlaku,” ujar Dedi.
Strategi bersama
Selain meningkatkan patroli siber dan penegakan hukum, Polri juga berupaya melakukan sejumlah langkah mitigasi untuk meredam hoaks. Dedi mengatakan, pihaknya secara konsisten melakukan koordinasi dan komunikasi dengan Kemenkominfo serta Badan Siber dan Sandi Negara untuk menghentikan dan memblokir sejumlah akun yang memproduksi dan menyebarkan hoaks dan disinformasi.
Kemudian, lanjutnya, Polri secara bertahap berkerja sama dengan seluruh pihak terkait dan elemen masyarakat guna melakukan literasi dan edukasi digital. Upaya itu dilakukan untuk menghadirkan kesadaran masyarakat agar bijak dalam mengonsumsi informasi.
Menurut pendiri Kelas Muda Digital, Afra Suci Ramadhon, kehadiran hoaks yang semakin menjamur dalam beberapa tahun terakhir tidak lepas dari pengaruh perkembangan teknologi dan dipicu pula oleh adanya kepentingan politik. Di sisi lain, masyarakat yang kurang kritis dan konten hoaks yang provokatif mengakibatkan berita bohong itu mudah dipercaya dan disebar sebagian masyarakat.
Penegakan hukum, kata Afra, hanya merupakan upaya memadamkan api atas penyebaran hoaks yang telah meresahkan masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah untuk membenahi sumber hoaks, yakni peran aktif seluruh pemangku kepentingan untuk meningkatkan literasi media dan kemampuan berpikir kritis masyarakat.
”Selama ini minim pula kesadaran publik untuk meralat dan meminta maaf kalau sudah tahu informasi yang disebarnya adalah hoaks,” kata Afra.
Afra pun menekankan, pemerintah perlu menunjukkan pengaruh untuk menuntut berbagai perusahaan penyedia layanan informasi digital, di antaranya Facebook dan Google, untuk lebih serius membenahi teknologi dalam membatasi penyebaran hoaks dan mengindentifikasi penargetan iklan yang membantu sirkulasi berita bohong.