Jalan Berliku Para Caleg Muda
“Beri aku sepuluh pemuda, niscaya akan kuguncang dunia”
Penggalan pidato Presiden pertama Republik Indonesia Soekarno itu menunjukkan begitu besarnya kekuatan pemuda. Sejak masa revolusi kemerdekaan hingga era reformasi, pemuda memang menjadi agen perubahan.
Para pemuda lah yang pertama kali menggunakan istilah Indonesia sebagai identitas nasional. Pada Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928 di Batavia (sekarang Jakarta), para pemuda dari berbagai daerah menyatakan berbangsa satu, yakni Bangsa Indonesia.
Kalangan muda pulalah yang mendesak Soekarno untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Bahkan untuk kepentingan itu, para pemuda sampai menculik Soekarno-M Hatta dan membawa keduanya ke Rengasdengklok pada 16 Agustus 1945. Sehari kemudian, setelah mendapat desakan dari para pemuda, Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
Jatuhnya pemerintahan otoriter Soeharto juga berkat jasa para pemuda. Kalangan muda, baik pelajar maupun mahasiswa, melancarkan protes dengan berkali-kali turun ke jalan hingga Soeharto meletakkan jabatannya pada 31 Mei 1998.
Kini, setelah 20 tahun berlalu, kaum muda juga mengisi berbagai posisi strategis, tak terkecuali di lembaga legislatif. Berdasarkan catatan Kompas, lebih dari 60 persen dari 560 orang anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 2014-2019 merupakan sosok muda, berusia di bawah 50 tahun pada saat dilantik, 1 Oktober 2014 lalu.
Calon anggota DPR periode 2019-2024 yang terdaftar di Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga didominasi kaum muda. Menurut data yang diolah Litbang Kompas, 62,9 persen dari 7.968 caleg berusia di bawah 50 tahun. Motivasi kaum muda mengadu peruntungan di Pemilu 2019 hampir sama, dari ingin mengubah wajah DPR hingga memperjuangkan legislasi untuk kepentingan rakyat.
Caleg Partai Nasdem dari Daerah Pemilihan Jawa Timur II, Rahma Sarita (43), misalnya, bercita-cita ingin mengubah citra DPR yang masih buruk di mata rakyat. “Tidak bisa dipungkiri, potret anggota DPR ini banyak yang negatif. Saya tertarik ikut mengubah potret itu, mengubah warna parlemen. Mudah-mudahan dengan new comer ini bisa membawa perubahan,” tuturnya dalam acara bincang-bincang Satu Meja the Forum yang ditayangkan di Kompas TV, Rabu (7/11/2018).
Acara bincang-bincang bertema “Caleg Muda, Bisa Apa?” yang dipandu Pemimpin Redaksi Harian Kompas Budiman Tanuredjo itu juga menghadirkan sejumlah caleg lain, yakni Dede Yusuf dari Partai Demokrat, Aria Bima (PDI-P), Meutya Hafid (Partai Golkar), dan Miftah N Sabri (Partai Gerindra), Raslina Rasyidin (Partai Berkarya). Hadir pula narasumber lain, yakni pakar komunikasi politik Effendi Gazali dan pengamat politik Donny Gahral Adian.
Lain Rahma, lain pula dengan Miftah yang juga baru pertama mendaftar sebagai caleg. Salah satu mimpi caleg dari Dapil Riau I itu adalah menyusun Undang-Undang Sistem Inovasi Nasional yang nantinya menjadi payung hukum bagi para penemu dan peneliti untuk melakukan berbagai inovasi.
Perjuangan berat
Cita-cita para caleg baru itu cukup mulia. Tetapi tentu jalan yang harus ditempuh untuk mewujudkan mimpi mereka tak akan semulus yang dibayangkan. Sebab untuk bisa lolos ke parlemen saja, mereka tak hanya harus bersaing dengan caleg dari parpol lain, tetapi juga dengan sesama caleg di parpol yang sama. Belum lagi para caleg baru juga harus menghadapi caleg petahana, yang tentu lebih dulu memiliki jaringan pendukung atau pemilih.
Jalan menuju parlemen juga semakin berat, karena dukungan kepada pasangan calon presiden-calon wakil presiden yang diharapkan bisa mendongkrak perolehan suara parpol dan caleg tidak bisa diharapkan. Menurut Effendi, efek ekor jas tidak bisa sepenuhnya diharapkan karena hanya ada dua pasangan capres-cawapres.
“Gara-gara calonnya ada dua, tidak bisa mengharapkan coat-tail effect sepenuhnya,” tuturnya.
Kendala lain yang harus dihadapi para caleg muda untuk memenangi Pemilu adalah politik biaya tinggi. Pragmatisme pemilih membuat politik menjadi berbiaya tinggi. “Orang bilang Sumut (Sumatera Utara) itu semua urusan tunai, jadi kira-kira itu masalah saya. Politik itu sampai sekarang biayanya masih mahal, dan Sumut merupakan daerah yang termasuk biaya politiknya tinggi,” tutur Meutya yang merupakan caleg petahana.
Rahma juga menuturkan, pragmatisme serta politik transaksional merupakan permasalahan yang dihadapi caleg di semua dapil. Menurut dia, pragmatisme pemilih merupakan akibat dari praktik politik uang yang diajarkan para caleg pada pemilu sebelumnya.
Karena itulah mau tidak mau, praktik politik uang juga dilakukan oleh para caleg baru. Sebab caleg baru juga meyakini tidak akan bisa masuk parlemen jika tak melakukan politik uang.
“Demokrasi kita ini demokrasi terpadu, terpaksa pakai duit karena kita tidak berdaya. Jalau enggak pakai duit, enggak akan kepakai. Masyarakat jadi pragmatis yang mengajari juga caleg-caleg lama, yang baru terpaksa mengikuti, atau kita tidak pernah terpilih,” tutur Rahma.
Tantangan
Tak hanya perjuangan menuju parlemen, tantangan yang harus dihadapi jika menjadi anggota DPR juga semakin berat. Setiap orang yang duduk di kursi DPR harus siap kehilangan kepercayaan rakyat akibat buruknya citra lembaga legislatif di mata rakyat. Hasil survey Litbang Kompas menyebutkan, 58 persen masyarakat memiliki persepsi buruk terhadap DPR.
Masalah lain adalah kinerja DPR yang belum juga bisa memuaskan publik. Menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 yang sudah disempurnakan menjadi UU Nomor 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD, DPR memiliki tiga fungsi, yakni pengawasan, legislasi, serta penganggaran. Dari ketiga fungsi itu, DPR lebih banyak melaksanakan fungsi pengawasan.
Sementara kinerja legislasi kurang memuaskan. Setiap tahun DPR tidak pernah berhasil memenuhi target legislasi yang ditetapkan dalam program legislasi nasional (prolegnas). Pada tahun 2015, misalnya, DPR hanya berhasil mengesahkan 3 dari 39 RUU prioritas Prolegnas 2015. Begitu pula pada tahun 2018, DPR hanya mampu mengesahkan 4 dari 50 RUU prioritas Prolegnas 2018. Meski capaian rendah, tahun 2019 DPR tetap memasang target tinggi, yakni 55 RUU prioritas. Sebanyak 43 RUU diantaranya merupakan luncuran, yakni RUU prioritas Prolegnas tahun 2018 yang belum selesai dibahas. Sisanya, 4 RUU usulan Pemerintah, 7 RUU usulan DPR, dan 1 RUU usulan DPD.
Tantangan terberat adalah tudingan bahwa DPR merupakan lembaga terkorup. Sampai saat ini setidaknya sudah 20 anggota DPR periode 2014-2019 yang terjerat kasus korupsi, termasuk Ketua DPR Setya Novanto dan Wakil Ketua DPR Taufik Kuniawan. Rata-rata anggota DPR terjerat korupsi saat melaksanakan fungsi penganggaran. Mereka menerima suap sebagai kompensasi atas pengalokasian program atau proyek dalam APBN.
Meutya berpandangan, korupsi di DPR merupakan dampak dari penerpapan sistem proporsional terbuka dalam pemilu. Pemilihan caleg secara langsung mengakibatkan politik menjadi berbiaya tinggi. Meski DPR sudah melakukan upaya pencegahan dengan tidak membahas anggaran hingga satuan III, korupsi tetap bisa terjadi selama sistem pemilu belum diubah.
Sementara menurut Dede Yusuf, korupsi terjadi karena adanya kekuasaan atau kewenangan yang berlebihan. Karena itu diperlukan adanya sistem pengawasan yang ketat untuk mencegah terjadinya suap atau korupsi.
Miftah optimistis, para caleg muda akan mampu menjawab permasalahan yang dihadapi DPR dan juga semua permasalahan bangsa. Karenanya, ia mengajak rakyat untuk memilih para caleg muda karena merekalah yang mampu membuat regulasi untuk menjawab tantangan di masa depan.
Tentu penting pula diingat, 60 persen anggota DPR 2014-2019 juga berusia muda. Bahkan, 56,8 persen dari 560 orang wakil rakyat merupakan wajah baru. Tetapi nyatanya, keberadaan mayoritas kaum muda itu belum juga mampu memperbaiki citra serta kinerja parlemen. Rupanya kaum muda di parlemen hanya besar menurut jumlah, tetapi suaranya masih belum terdengar.