Zumi Zola dinilai tidak memenuhi kriteria sebagai justice collaborator karena merupakan pelaku utama dugaan penerimaan gratifikasi dan pemberian suap kepada anggota DPRD Jambi.
JAKARTA, KOMPAS - Permohonan gubernur Jambi nonaktif Zumi Zola untuk menjadi pelaku yang bekerja sama membongkar kejahatan atau justice collaborator tidak dikabulkan Komisi Pemberantasan Korupsi. Kendati demikian, sikap kooperatif Zumi selama proses penyidikan hingga persidangan, diikuti sejumlah pengembalian uang dan mobil yang diterimanya, dipertimbangkan jaksa dalam mengajukan tuntutan.
Dalam sidang pembacaan tuntutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (8/11/2018), Zumi dituntut hukuman 8 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan. Tim jaksa penuntut umum yang dipimpin Iskandar Marwanto juga meminta majelis hakim mencabut hak politik Zumi selama 5 tahun terhitung sejak masa pidana berakhir.
Zumi dinilai terbukti menerima gratifikasi dan memberi suap kepada para anggota DPRD Provinsi Jambi untuk memuluskan pengesahan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Adapun pasal yang dilanggar adalah Pasal 12 B dan Pasal 5 Ayat (1) Huruf a Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 jo Pasal 65 Ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Sebelumnya, Zumi mengajukan permohonan sebagai justice collaborator (JC) pada 25 Oktober 2018. Namun, setelah mengkaji dan mencermati proses penyidikan serta persidangan, penuntut umum berpendapat permohonan tersebut tidak memenuhi syarat-syarat yang diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 tentang Saksi Pelaku Tindak Pidana yang Bekerja Sama.
”Terdakwa adalah pihak yang paling bertanggung jawab dalam perkara tersebut, baik sebagai penerima gratifikasi maupun sebagai pemberi suap. Kemudian keterangan terdakwa yang diungkapkan dalam penyidikan maupun dalam sidang pengadilan belum signifikan dan belum bersifat menentukan untuk membongkar pelaku lain ataupun untuk membongkar adanya tindak pidana korupsi lain,” kata jaksa Tri Anggoro Mukti.
Dari total gratifikasi berjumlah lebih dari Rp 40 miliar yang didakwakan, Zumi mengonfirmasi sebesar Rp 17,4 miliar sesuai yang ada dalam catatan Muhammad Imaduddin, salah satu orang kepercayaannya. Sisanya berupa pembelian patung mainan, mobil, serta uang untuk umrah telah dikembalikan secara bertahap kepada KPK.
Bantahan
Dalam sidang tuntutan yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Yanto, tim jaksa juga mengungkap adanya keterangan tidak benar yang disampaikan sejumlah anggota DPRD Provinsi Jambi. Mereka adalah Cornelis Buston, AR Syahbandar, Chumaidi Zaidi, Zainal Abidin, Effendi Hatta, Sufardi Nurzain, Gusrizal, Zainul Arfan, Elhelwi, Muhammadiyah, Tdjudin Hasan, Parlagutan Nasution, dan Cekman.
Sejumlah anggota parlemen daerah ini membantah telah menerima uang ketok palu. Padahal, menurut kesaksian para kurir pengantar uang hingga sesama rekan anggota DPRD Provinsi Jambi, mereka turut menerima uang ketok palu, baik untuk APBD 2016 maupun 2017, dengan jumlah yang bervariasi.
Tidak hanya dalam persidangan untuk Zumi, keterangan yang bertentangan ini juga muncul dalam persidangan para terdakwa yang lain, seperti anggota DPRD Provinsi Jambi, Supriyono, serta sejumlah pejabat pemerintah provinsi, yakni Erwan Malik, Saifuddin, dan Arfan yang kini telah divonis bersalah.
Atas tuntutan ini, Zumi berencana mengajukan nota pembelaan pribadi yang dijadwalkan pada pekan depan. Begitu pula dengan penasihat hukum yang akan membuat pleidoi tersendiri atas tuntutan yang diajukan jaksa tersebut. Zumi sendiri menjadi tersangka melalui pengembangan perkara yang dilakukan KPK setelah operasi tangkap tangan terhadap Supriyono, Erwan, Saifuddin, dan Arfan.