Kedepankan Etika dalam Berpolitik
TEGAL, KOMPAS - Politisi diharapkan melakukan pendidikan politik yang mendewasakan saat berkampanye. Kampanye pun semestinya menjadi ajang untuk menebarkan optimisme dalam pesta demokrasi.
Masalahnya, menurut Presiden Joko Widodo, ada politisi yang menggunakan propaganda menakut-nakuti, menimbulkan kekhawatiran, ketidakpastian, dan mengakibatkan keraguan di masyarakat.
”Itu sering saya sampaikan, namanya politik genderuwo (hantu), nakut-nakuti,” kata Presiden Joko Widodo dalam sambutannya saat pembagian sertifikat untuk warga Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, di GOR Indoor Tri Sanja, Kabupaten Tegal, Jumat (9/11/2018).
Terkait pernyataan ini, Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, Andre Rosiade, menilai pernyataan Jokowi itu tidak tepat jika saat ini disampaikan kepada lawan politiknya.
Sebagai presiden, kata Andre, sebaiknya Jokowi tak berkutat dengan istilah atau mitos yang tak ada kaitannya dengan cara memperbaiki kondisi ekonomi bangsa. Sebab, menurut dia, kenyataannya kondisi ekonomi semakin tidak menentu.
”Dan rakyat saat ini lebih takut dengan kondisi ekonomi yang semakin tidak menentu, lebih takut jika melihat harga kebutuhan pokok dan kondisi ekonomi,” ucap Andre.
Namun, menurut Juru Bicara Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf, Ace Hasan Syadzily, pernyataan Jokowi terkait politik genderuwo tidak bermaksud untuk menyerang kelompok tertentu. Politik genderuwo itu adalah istilah simbolik yang ditunjukkan kepada pihak-pihak yang selalu melontarkan pandangan-pandangan pesimistis tentang kondisi bangsa.
”Saya kira pernyataan ini tidak hanya kepada kelompok tertentu, tetapi kepada siapa saja, terutama para politisi yang selalu melontarkan pandangan-pandangan dan narasi yang pesimistis, ketakutan, dan ketidakpastian,” katanya.
Jaga etika
Seusai meresmikan jalur Jalan Tol Pejagan-Pemalang (Seksi 3 dan 4 Brebes Timur-Sewaka) dan Jalan Tol Pemalang-Batang (Segmen Sewaka-Simpang Susun Pemalang) di Kabupaten Tegal, kemarin pagi, Presiden Jokowi juga menyebut cara-cara berpolitik tersebut tak beretika. Menurut Presiden, cara-cara tersebut semestinya dihentikan.
Berpolitik, menurut Presiden, semestinya dilakukan dengan kegembiraan, semangat. Politisi pun didorong berkampanye dengan menawarkan ide dan program. Dengan begitu, masyarakat nantinya mampu memilih dengan jernih dan rasional pada Pemilu 2019.
”Oleh sebab itu, sering saya sampaikan, (kita perlu) hijrah dari ujaran kebencian kepada ujaran kebenaran, hijrah dari pesimisme kepada optimisme, hijrah dari kegaduhan ke kerukunan dan persatuan,” tutur Presiden lagi.
Kendati demikian, Presiden enggan menyebutkan politisi yang melakukan politik genderuwo itu. ”Ya, dicari saja politikusnya,” ujarnya sambil tersenyum.
Presiden Jokowi selalu mengingatkan masyarakat untuk tetap bersatu, rukun, dan bersaudara kendati ada pemilihan bupati, pemilihan wali kota, pemilihan gubernur, ataupun pemilihan presiden. Perbedaan pilihan dalam pemilu tak semestinya membuat konflik, apalagi perpecahan di masyarakat.
”Jangan sampai tidak rukun, tidak bersatu, menjadi pecah gara-gara pilihan presiden, pilihan gubernur, pilihan bupati. Jangan sampai. Rugi besar kita ini. Karena setiap lima tahun itu ada pemilihan bupati, pemilihan gubernur, pemilihan wali kota. Ada terus,” tambah Presiden.
Apalagi, negara Indonesia yang sangat besar dan luas ini memang terbentuk dari warga yang berbeda-beda, baik suku, agama, adat istiadat, tradisi, maupun bahasa daerahnya. Penduduk Indonesia pun saat ini mencapai 263 juta orang, tersebar di 17.000 pulau dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote.
Oleh karena itu, persatuan, persaudaraan, dan kerukunan merupakan aset terbesar bangsa ini. Sehingga, tak semestinya akibat pemilihan gubernur, bupati, wali kota atau pemilihan presiden, kemudian antartetangga atau antarsaudara tak saling sapa.