JAKARTA, KOMPAS – Patuh pada aturan, baik bagi kepala daerah dan pengusaha, menjadi hal yang utama dilakukan untuk menghindari praktik suap dalam proses perizinan. Kepala daerah senantiasa diingatkan agar tidak mempersulit para pengusaha yang membutuhkan izin, tapi juga harus tegas apabila dokumen yang diserahkan tidak memenuhi syarat.
Hal ini disampaikan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo seusai bertemu dengan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi di Gedung KPK Jakarta, Jumat (9/11). Dalam pertemuan kali ini, Tjahjo mengaku diundang oleh pimpinan KPK yang salah satunya membahas mengenai penguatan Aparatur Pengawas Internal Pemerintah.
Ia sepakat tentang penguatan APIP. Kali ini, petunjuk teknis dari perubahan regulasi yang masih terus dibahas ini berencana disusun. Menurut dia, penguatan APIP ini berdampak pada optimaslisasi kinerja daerah serta dapat mencegah terjadinya tindak pidana korupsi di daerah yang belakangan menjerat kepala daerah.
“Sudah diingatkan terus-terusan. Aturan dijaga, jangan sampai melanggar. Kalau memang tidak sesuai dengan Rancangan Umum Tata Ruang atau persyaratannya belum lengkap, jangan dipaksakan. Kadang pengusaha itu berjuang, di sini daerahnya harus tegas. Tapi kalau memang pengusaha merasa dipersulit, lapor ke Kemendagri,” tutur Tjahjo.
Sejumlah kepala daerah yang baru saja dilantik bahkan sempat diajak datang ke KPK untuk mengetahui area rawan korupsi. Sektor perizinan merupakan salah satu yang paling krusial bagi pemerintah daerah. Akan tetapi, Tjahjo mengungkapkan kekecewaannya saat ada kepala daerah lagi yang tertangkap tangan oleh KPK karena melanggar area rawan korupsi tersebut. “Ini sudah kembali pada integritas individu tersebut,” ujar Tjahjo.
Secara terpisah, Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII) Dadang Trisasongko menyampaikan bukan hanya sektor publik yang terus menerus diminta berbenah dan selalu menjadi sasaran program anti korupsi. Perusahaan harus mulai diwajibkan mengimplementasikan sistem pencegahan korupsi, sehingga penawaran atau pemberian suap dapat secara dini dicegah.
Pada tahun 2017, TII telah meluncurkan hasil kajian berupa Transparency In Corporate Reporting (TRAC): Perusahaan Terbesar Indonesia untuk menilai kesiapan 100 perusahaan terbesar di Indonesia dalam mencegah korupsi berdasarkan pemeringkatan yang dibuat oleh Fortune Top Hundred 2014.
Skor rerata Transparency in Corporate Reporting terhadap100 perusahaan terbesar di Indonesia adalah 3.5/10. Dengan skala, 0 berarti perusahaan sangat tidak transparan, dan 10 menandakan bahwa perusahaan sangat transparan. “Skor ini mengindikasikan bahwa mayoritas perusahaan terbesar di Indonesia belum transparan, gagal dalam membuktikan eksistensi dari sistem pencegahan korupsi perusahaan,” ujar Dadang.
Dari 100 perusahaan yang dinilai, sebanyak 71 perusahaan tidak mewajibkan pihak ketiga seperti konsultan, penasihat, pengacara, bahkan intermediary untuk terikat dalam pedoman perilaku perusahaan. Kemudian, sebanyak 67 dari 100 perusahaan tidak mewajibkan penyedia barang dan jasa untuk mematuhi program anti korupsi perusahaan terbesar Indonesia itu.
Sementara itu, ada 74 dari 100 perusahaan terbesar di Indonesia tidak melakukan pelatihan anti korupsi bagi para karyawan dan Direktur Perusahaan. Kemudian untuk gratifikasi, sebanyak 61 dari 100 perusahaan di Indonesia belum memiliki aturan tentang larangan pemberian dan penerimaan gratifikasi.
“Mungkin KPK juga perlu segera mengeluarkan peraturan tentang panduan program anti korupsi agar perusahaan memiliki pedoman dalam menyusun program anti korupsi yang komprehensif” ujar Dadang.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah menyampaikan, program anti korupsi untuk korporasi sedang berjalan. Beberapa kali dilakukan sosialisasi ke sejumlah perusahaan tentang panduan dan pedoman anti korupsi dan gratifikasi. Akan tetapi, implementasinya dikembalikan pada perusahaan tersebut. Sedangkan untuk kepala daerah, KPK telah mengingatkan berulangkali bahkan tim pencegahan turun ke lapangan ikut membantu menggagas layanan untuk mempermudah proses perizinan.