JAKARTA, KOMPAS — Perbedaan pandangan terhadap suatu permasalahan bangsa perlu dicegah sejak awal agar eskalasinya tidak menguat dan mengganggu stabilitas negara. Semangat menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia di tengah keberagaman bangsa harus menjadi dasar dalam setiap penyelesaian masalah. Dialog menjadi sarana utamanya.
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto mengatakan, sebagai anak satu bangsa, hal fundamental yang perlu dijunjung tinggi adalah menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karena itu, setiap perbedaan pandangan yang muncul dalam setiap persoalan bangsa harus bisa diselesaikan secara dialog untuk mendapatkan tabayun atau pemahaman bersama.
”Dialog dibutuhkan untuk mencari kebenaran dan semangat tabayun sehingga terjadi kesepakatan bahwa ternyata ada kesalahpahaman yang tidak boleh terjadi lagi di masa depan. Tak ada masalah yang selesai tanpa komunikasi, berkoordinasi. Ini namanya merajut kebersamaan,” tutur Wiranto di depan sejumlah pemimpin organisasi masyarakat Islam dalam Dialog Kebangsaan ”Dengan Semangat Ukhuwah Islamiyah Kita Jaga Persatuan dan Kesatuan Bangsa”, di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Jumat (9/11/2018).
Adapun sejumlah ormas yang diundang antara lain Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Forum Umat Islam Bersatu, Forum Umat Islam, Front Santri Indonesia, Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia, dan Presidium Alumni 212.
Hadir pula dalam acara itu Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin serta Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri Soedarmo.
Pada kesempatan yang sama, Menko Polhukam menyinggung soal kasus pembakaran bendera Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di Garut, Jawa Barat. Menurut Wiranto, kasus itu sebenarnya permasalahan kecil, tetapi ternyata eskalasinya semakin besar, bahkan ke negara. Dia meminta publik untuk berhati-hati agar setiap aksi demonstrasi tak ditunggangi kepentingan politik.
”Coba selesaikan dengan cara-cara ukhuwah (persaudaraan). Terus terang, banyak yang kemudian nunggangin. Masalah tak terlalu besar dalam konteks nasional, tetapi tiba-tiba ini ada indikasi-indikasi yang harus kita cegah,” tutur Wiranto.
Kemajemukan
Sementara itu, Lukman Hakim mengingatkan, kemajemukan bukan merupakan barang baru di Indonesia karena bangsa ini lahir dari beragam suku, agama, ras, dan antargolongan. Karena itu, seyogianya setiap perbedaan yang ada harus dipahami sebagai sebuah rahmat. Dengan begitu, segala macam perdebatan dan hal negatif akibat perbedaan dapat dihindari.
”Inilah cara pandang yang lebih kita kedepankan sehingga perbedaan itu tidak menimbulkan gesekan-gesekan yang menimbulkan hal-hal negatif yang kemudian tidak hanya merusak silaturahmi di antara kita, apalagi sampai meruntuhkan sendi-sendi kehidupan kita berbangsa dan bernegara,” ujarnya.
Menurut Lukman, pandangan dan nilai-nilai agama juga harus menjadi pedoman masyarakat dalam menyelesaikan setiap persoalan berbangsa dan bernegara. ”Jadi, nilai-nilai agama itu harus menyatu, terintegrasi dalam aktivitas keseharian kita, juga pemerintahan, dan kemasyarakatan,” katanya.
Soedarmo juga menyebutkan, dialog antar-ormas sangat dibutuhkan untuk ikut meredam terjadinya eskalasi akibat isu-isu yang kerap kali dipolitisasi.
”Pokoknya, begitu ada persoalan, ini harus kita selesaikan. Jangan sampai persoalan itu menjadi besar. Ini masalahnya, kan, tahun politik. Jadi, kalau ada persoalan tidak segera kita selesaikan, maka kita khawatir akan jadi berkembang,” ujarnya.
Sepakat
Sekretaris Jenderal PBNU Helmy Faishal Zaini menilai, kesalahpahaman antar-ormas Islam terjadi akibat kurangnya informasi dalam memahami konteks pembakaran bendera. Kondisi ini diperparah dengan amplifikasi informasi dari media sosial.
”Ini, kan, sebenarnya efek dari media sosial. Ternyata informasi yang tidak utuh disebarkan begitu saja. Kemudian, orang yang cara memahaminya berbeda menimbulkan emosi, lalu terjadi konflik. Kalau tak pakai media sosial, tak mungkin seramai ini,” tutur Helmy.
Ia pun menyebut ormas-ormas Islam yang hadir berusaha mencari titik temu dari persoalan pembakaran bendera. Helmy mengakui masih ada silang pendapat lantaran kasus ini ditarik ke wilayah politik.
”Itu, kan, karena ada yang masuk ke wilayah politik yang sulit sekali untuk dicari titik temu. Ternyata, setelah bicara dari hati ke hati, beda. Banyak masalah yang harus diselesaikan secara dialog,” kata Helmy.
Meski demikian, Ketua Dewan Pimpinan Pusat Front Santri Indonesia Muhammad Hanif Alatas menuturkan, forum telah menyepakati bahwa bendera bertuliskan tauhid tak ada hubungannya dengan HTI. Karena itu, tak boleh ada lagi pelarangan terhadap bendera tersebut. Dia juga menghargai adanya niat baik dan permintaan maaf dari NU dan anggota Barisan Ansor Serbaguna (Banser) dalam forum tersebut.
”Kami sepakat akan menjaga persatuan kesatuan, mengedepankan dialog dalam segala hal. Yang terpenting terkait masalah bendera, tadi sudah ada kesepakatan, bendera tauhid wajib dihormati, dimuliakan. Dari PBNU pun sudah minta maaf, dari Banser juga sudah minta maaf. Semoga dengan ini keutuhan NKRI bisa terjaga,” ujar Hanif.