Tukul Arwana adalah pelawak-selebritas papan atas. Ia hebat, bisa bertahan lama di panggung hiburan, bahkan melebihi masa edar para seniornya. Itu tak lain karena ia mampu mengapitalisasi gaya norak, katrok, ndeso, kampungan, ketinggalan zaman, culun, dan semaknanya. Saking hebatnya nama Tukul sampai diplesetkan too cool (terlalu keren), dan mungkin hanya sedikit yang tahu nama aslinya: Riyanto. Di tangan Tukul, kekatrokan justru menjadi sumber penghasilan yang luar biasa.
Tiba-tiba saja beberapa hari ini Tukul tebersit di pikiran setelah viralnya pidato Prabowo Subianto soal "tampang Boyolali" saat meresmikan kantor Badan Pemenangan Prabowo-Sandi di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, 30 Oktober 2018. Pidato Prabowo sebetulnya normal saja. Sebagai calon presiden dan penantang petahana, ia mengkritisi kesenjangan ekonomi. Ia membandingkan kondisi di daerah dan Jakarta yang maju dengan gedung-gedung menjulang tinggi dan hotel-hotel mahal, “Namanya saja kalian nggak bisa sebut. Dan macam-macam itu semua, tapi saya yakin kalian tidak pernah masuk hotel-hotel tersebut. Kalian kalau masuk mungkin kalian diusir, tampang kalian tampang tidak orang kaya, tampang kalian, tampang Boyolali, ini, betul,” kata Prabowo dalam pidatonya.
Suara tawa pun bergemuruh. Boleh jadi tak niat Prabowo untuk melecehkan orang Boyolali. Istilah "tampang Boyolali" mungkin meluncur begitu saja sebagai bagian dari cara berkomunikasi. Komunikasi politik terkadang tak perlu yang berat-berat dan sulit dicerna. Sesekali diselingi gurauan mungkin akan lebih mengena di hati massa. Heritage dan Greatbatch (1986) yang menganalisis pidato-pidato politik di Inggris menyebutkan ada tujuh perangkat retorika dasar: kontras (hal bertolak berlakang), daftar (daftar isu politik yang mesti ada penegasan), pemecahan teka-teki (politikus mengajukan teka-teki lalu menawarkan solusi), alur head-line punch (mula-mula politikus membuat rencana lalu melakukannya), kombinasi (menggunakan satu atau lebih cara-cara di atas), mengemukakan pendapat (mendeskripikan kondisi terkini dan diakhiri pendapat sendiri), dan upaya (bila massa tidak merepons, orator mengulangi poin yang menjadi titik sentral) (Ritzer dan Goodman, 2013).
Dari tujuh perangkat itu, "kontras" merupakan paling umum yang mendapatkan tepuk tangan bergemuruh. Kalau bicara perangkat kontras seperti kaya-miskin atau maju-melarat, memang akan mudah membakar semangat massa. Tak heran, Prabowo yang mengangkat isu kesenjangan ditingkahi gurauan "tampang boyolali" membuat tawa bergema di seluruh ruangan. Dan, rasanya publik mafhum bahwa tampang boyolali itu sinonim "wajah ndeso". Meskipun maksudnya bergurau, tetapi itu membuat reaksi keras, khususnya warga Boyolali sampai berdemonstrasi. Sebab, itulah stereotip sekitar kehidupan kita.. Stereotip itu persepsi penuh prasangka yang tidak akurat. Stereotip bisa membuat citra orang/kelompok/daerah menjadi buruk.
Memang, stereotip itu sering terdengar di mana-mana. Bahkan kerap menjadi "vitamin" materi guyonan. Tetapi guyonan itu juga tak lepas dari superioritas, yang merupakan salah satu teori humor. Filsuf politik Thomas Hobbes (1588–1679) mengatakan rasa humor muncul dari “kemuliaan tiba-tiba” ketika kita mengakui supremasi kita atas orang lain, sementara filsuf Plato (427-347 SM) dan Aristoteles (384-322 SM) menekankan perasaan agresif yang membangkitkan humor (www.iep.utm.edu). John Morreall (kelahiran 1947), filsuf humor yang produktif, menafsirkan teori superioritas mungkin teori tawa yang paling luas di mana tawa adalah ekspresi dari perasaan superioritas seseorang atas orang lain (Lintott, 2016, Superiority in Humor Theory). Morreall mengakui bahwa teori superioritas bisa juga untuk humor yang mencela diri sendiri, yang oleh Robert Solomon (2002) ditawarkan sebagai teori humor inferioritas sebagaimana kita sering tonton acara Tukul atau para stand up comedy.
Tetapi kembali ke laptop (meniru gaya Tukul) bahwa tampang boyolali itu menjadi tidak menghibur karena dianggap melecehkan. "Jika orang tidak suka ditertawakan, itu pasti karena tawa merendahkan obyeknya di mata subjek," kata pendukung teori superioritas Roger Scruton (Morreall, 1987). Humor kehilangan "rasa menghiburnya" ketika ada di panggung politik. Barangkali bukan karena humornya yang tidak lucu, melainkan aura politiknya yang terlalu panas sehingga tak mampu diademkan oleh rasa humor. Dalam beberapa tahun ini politik kita memang jauh dari kesantuan, keadaban, atau etika berpolitik. Kebohongan, caci-maki, fitnah, menghalalkan segala cara, saling serang, adu domba, telah melunturkan watak-watak mulia politik.
Presiden Joko Widodo sih menyebutnya sebagai "politik genderuwo". Saat membagikan sertifikat tanah untuk masyarakat di Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Jumat (9/11), pidato Jokowi menyinggung tentang cara politik yang menakut-nakuti masyarakat. "Cara-cara seperti ini adalah cara-cara politik yang tidak beretika. Masa masyarakatnya sendiri dibuat ketakutan? Nggak benar kan? Itu sering saya sampaikan itu namanya politik genderuwo, nakut-nakuti," ujar Jokowi, yang sebelumnya melontarkan istilah politikus sontoloyo. Memang, makin hari rasanya arena politik semakin kehilangan kebajikannya (virtue). Panggung politik hanya dijejali adegan pertikaian sengit saling menjatuhkan. Kalau begitu memang bukan katrok lagi, tetapi sudah jadi genderuwo yang menyeringai.