BATUSANGKAR, KOMPAS – Terus berulangnya politik uang dan mahar politik dalam pemilihan umum hanya merupakan persoalan di hilir yang menjadi akibat dari tidak adanya mekanisme pengawasan dana partai politik. Regulasi tentang pemilu maupun parpol yang tidak mengatur tentang akuntabilitas dana parpol itu memicu munculnya celah bagi terjadinya politik transaksional.
Direktur eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan, ketiadaan instrumen hukum untuk mengawasi dana parpol menjadi persoalan utama yang memicu terus terjadinya politik transaksional. Instrumen hukum itu tidak hanya berupa regulasi tertulis melainkan juga keberadaan lembaga yang secara khusus bertanggung jawab mengawasi uang masuk dan keluar dari rekening parpol.
“Setiap dana idealnya harus dilaporkan pertanggungjawabannya dan diaudit. Namun, mekanisme yang selama ini terjadi belum berkontribusi untuk mengecek kebenaran laporan pertanggungjawaban dan audit itu. Proses audit yang diatur hanya sebatas pada audit kepatuhan, yakni apakah parpol itu patuh mencatat dan melaporkan keuangannya. Namun, untuk tahu apakah laporan itu benar ataukah tidak, belum ada mekanisme audit yang menyentuh sampai ke sana,” kata Titi, Senin (12/11/2018) di Padang, Sumatera Barat.
Setiap dana idealnya harus dilaporkan pertanggungjawabannya dan diaudit. Namun, mekanisme yang selama ini terjadi belum berkontribusi untuk mengecek kebenaran laporan pertanggungjawaban dan audit itu. Proses audit yang diatur hanya sebatas pada audit kepatuhan, yakni apakah parpol itu patuh mencatat dan melaporkan keuangannya
Di sisi lain, kendati ada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), tetapi pengawasan dana pemilu tidak menjadi prioritas mereka dalam pengawasan. Begitu juga dengan kemampuan Bawaslu dalam menelusuri kebenaran aliran uang yang masuk dan keluar dari aprpol juga cenderung minim. Kondisi itu bertemali dengan celah di dalam regulasi yang memungkinan aliran dana parpol itu sulit untuk ditelusuri kebenarannya.
“Misalnya uu pemilu kita tidak membatasi transaksi tunai. Akibatnya dana-dana yang beredar nontunai itu relatif sulit ditelusuri karena dana-dama itu beredar pasif, dan beredar di tangan-tangan orang yang dianggap bukan bagian dari struktur resmi tim pemenangan. Bawaslu tidak memiliki instrumen untuk menjangkau itu. Kedua, pengawasan dana kampanye sediri belum menjadi prioritas lembaga pengawas kita karena beban yang terlalu bertumpuk, sehingga prioritas kerja menjadi terabaikan,” kata Titi.
Peneliti hukum dan kebijakan Transparency International Indonesia (TII) Reza Syawawi mengatakan, saat ini ada dua jenis mekanisme audit yang dijalankan untuk dana parpol. Pertama ialah audit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap dana parpol yang diterima dari negara. Kedua, audit oleh akuntan publik terhadap dana parpol dari pihak ketiga, lembaga, atau anggota parpol.
“Praktis hasil audit yang terbuka hanya bisa dilakukan terhadap dana parpol yang berasal dari negara, sedangkan untuk audit dana di luar negara, transparansinya sukar diwujudkan. Alasannya, audit itu dilakukan oleh akuntan publik yang laporannya disampaikan dengan terbatas,” kata Reza.
Praktis hasil audit yang terbuka hanya bisa dilakukan terhadap dana parpol yang berasal dari negara, sedangkan untuk audit dana di luar negara, transparansinya sukar diwujudkan. Alasannya, audit itu dilakukan oleh akuntan publik yang laporannya disampaikan dengan terbatas
Akuntan publik itu pun merupakan akuntan yang dipilih oleh parpol itu sendiri, dan laporan keuangan yang diaudit merupakan laporan yang disusun sendiri oleh parpol. Dengan kondisi ini, menurut Reza, penelusuran terhadap dana parpol akan sulit dilakukan, utamanya yang terkait dengan dana dari pihak ketiga, swasta, dan sumbangan lain di luar anggaran dari negara.
Sepanjang audit terbuka tidak bisa dilakukan terhadap dana parpol yang masuk dari dana di luar negara tidak bisa dilakukan, menurut Reza, potensi untuk terjadinya politik transaksional masih terbuka. Asal uang dan penggunaan dana parpol tidak bisa secara pasti diketahui, dan itu memicu terjadinya transaksi kepentingan yang berkelindan pendanaan parpol.
“Persoalan tentang akuntabilitas dana parpol menjadi tantangan terbesar, sebab ini menjadi ujung pangkal dari problem politik transaksional kita,” kata Reza.
Ketua Bawaslu Abhan mengatakan, lembaganya hanya bisa memantau besaran dana kampanye. Namun, untuk mengawasi besaran dana parpol yang masuk dan keluar, hal itu bukan menjadi kewenangan Bawaslu.
“Politik uang dan mahar politik memang hanya persoalan hilir saja dari sistem pendanaan parpol selama ini. Kita belum punya mekanisme pengawasan terhadap dana parpol. Kalau kita sudah punya mekansime pengawasan itu, tetu akan dengan mudah dilacak dan diketahui dari mana saja sumber dana parpol, dan peruntukannya apa saja,” kata Abhan.
Menurut Abhan, pihaknya mendukung upaya mmebuat mekanisme yang lebih jelas dalam pengawasan dana parpol. Hal itu diperlukan guna memutus rantai politik transaksional.