JAKARTA, KOMPAS – Antikorupsi belum sungguh-sungguh menjadi prioritas dan program utama dari dua calon presiden dan wakil presiden. Kendati antikorupsi telah masuk ke dalam visi-misi maupun program kerja, namun kesungguhan untuk mewujudkan antikorupsi sebagai upaya yang terukur dan terencana belum kelihatan, sehingga berpotensi hanya menjadi slogan untuk meraih dukungan semata, dan keramahan di mulut saja atau lip service.
Koordinator program Transparency International Indonesia (TII) Wawan Suyatmiko, Rabu (14/11/2018) di Jakarta mengatakan, sikap antikorupsi itu akan lebih terukur manakala pendidikan antikorupsi menjadi salah satu fokus perhatian para capres dan cawapres. Hanya saja, kini pendidikan antikorupsi itu kini belum detil diturunkan menjadi program-program kerja dan aksi nyata yang terencana.
“Pendidikan korupsi merupakan salah satu hal penting dalam upaya pemberantasan korupsi. Namun, kedua capres dan cawapres belum melihat hal ini sebagai suatu hal yang terkait langsung dengan tagline atau slogan mereka yang ingin menghadirkan pemerintahan antikorupsi. Tanpa pendidikan antiorupsi mustahil bisa mewujudkan iklim pemberantasan dan pencegahan korupsi,” katanya.
Persoalan itu dengan mudah ditemui dalam sejumlah kasus penangkapan kepala daerah oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Para kepala daerah itu memasukkan antikorupsi ke dalam program dan visi misi mereka, tetapi pada kenyataannya mereka tidak menurunkan visi misi itu dalam program kerja dan aksi nyata terukur dan terencana. Program antikorupsi semata-mata hanya dipakai sebagai sarana kampanye untuk meraih dukungan dan suara.
Di antara para kepala daerah itu bahkan telah menandatangani pakta integritas. Namun, mereka tetap terjerat kasus korupsi. “Jual beli jabatan dan kekuasaan masih terjadi, sehingga mereka banyak yang tertangkap oleh KPK,” kata Wawan.
Untuk mencegah korupsi terjadi, capres dan cawapres seharusnya membuat program pendidikan antikorupsi, misalnya, dengan membuat kurikulum atau silabus secara detil. Program yang detil dan terukur itu tidak hanya bisa mencegah korupsi, tetapi juga memudahkan masuknya budaya antikorupsi di setiap elemen masyarakat.
Kejujuran
Tantangan menghadirkan program pendidikan antikorupsi yang lebih riil dan terukur itu terutama menjadi tugas lebih berat bagi petahana. Sebab sejak tahun 2014, Joko Widodo dan Jusuf Kalla telah memasukkan isu antikorupsi itu ke dalam visi misi pasangan itu, yakni Nawacita.
“Jokowi-Ma’ruf harus menawarkan program yang tidak semata-mata lip service, hitungannya apa saja, dan kalau gagal apa konsekuensinya. Kalau perlu, Jokowi-Ma’ruf memasukkan hal-hal sangat teknis dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi,” katanya.
Sekretaris Jenderal TII Dadang Trisasongko mengatakan, pendidikan anti korupsi intinya ialah adalah pendidikan kejujuran dan menghargai hak-hak publik, yang dilakukan secara komprehensif sejak dini. Pendidikan itu akan berkontribusi pada penguatan pilar-pilar pemerintahan.
“Pendidikan antikorupsi seharusnya menjadi fokus kedua paslon. Dia (pendidikan antikorupsi) menjadi dasar dari semua program antikorupsi. Sebab, pembenahan sistem yang tidak disertai dengan perubahan sikap dan perilaku orangnya, maka sistem yang sudah baik itu tetap bisa diakali, disiasati atau bahkan diubah oleh mereka yang tak menghendaki adanya sistem yang baik,” katanya.