JAKARTA, KOMPAS – Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta yang mengabulkan gugatan Oesman Sapta Odang atas pencoretan namanya dari daftar calon tetap anggota Dewan Perwakilan Daerah bersifat final dan mengikat. Putusan itu bila dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum akan bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang sebelumnya telah menafsirkan norma di dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, sehingga menyebabkan Oesman alias Oso tidak bisa menjadi calon anggota DPD.
Putusan itu dibacakan oleh majelis hakim PTUN Jakarta yang dipimpin oleh Eddi Sapta Surhaza, dan dua anggota majelis, yakni Susilowati Siahaan, dan Andi Muh Ali Rahman, Rabu (14/11/2018) di Jakarta. Putusan itu dibenarkan oleh Ketua PTUN Jakarta Ujang Abdullah.
“Putusan itu mengabulkan seluruh gugatan dari penggugat. Putusan itu pun harus ditaati oleh tergugat, karena menurut UU 7/2017 dan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 5 Tahun 2017, putusan pengadilan TUN bersifat final dan mengikat, serta tidak ada upaya hukum lain, baik banding, kasasi, maupun PK,” kata Ujang.
Dalam amar putusannya, majelis hakim memerintahkan lima poin, yakni mengabulkan gugatan penggugat untuk seluruhnya, menyatakan batas Keputusan 1130/KPU/2018 tertanggal 20 September 2018, memerintahkan tergugat untuk mencabut Keputusan 1130/KPU/2018, memerintahkan tergugat untuk menerbitkan keputusan tentang DCT DPD Pemilu 2019 yang mencantumkan nama Oso sebagai calon tetap perseorangan peserta Pemilu 2019, serta menghukum tergugat untuk membayar biaya perkara sebesar Rp 336.000.
“Tergugat harus mematuhi putusan PTUN. Tergugat sesuai dengan amar putusan itu harus memasukkan nama Oso di dalam DCT DPD Pemilu 2019. Dari yang sebelumnya namanya tidak ada, kini diperintahkan untuk dicantumkan di dalam DCT,” ujar Ujang.
Lebih jauh, majelis PTUN menyebutkan, tergugat memberlakukan obyek sengketa berdasarkan peraturan yang berlaku secara surut. Majelis hakim PTUN sependapat dengan ahli, Hamdan Zoelva dan Zainal Arifin, yang diajukan oleh penggugat. Kedua ahli menyatakan persyaratan baru tidak bisa ditetapkan di tengah proses yang sedang berlangsung, sebab hal itu berkaitan dengan kepastian hukum. Pejabat dilarang menetapkan kebijakan yang berlaku surut.
“PKPU No 26/2018 seharusnya dimaknai oleh tergugat hanya untuk proses pemilu berikutnya, bukan pada proses pemilu yang dilakukan sebelum amandemen UU 7/2017 oleh MK. Tindakan tergugat secara prosedural maupun substansi dinilai telah bertentangan dengan peraturan perundang-udangan, dan karenanya juga bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik,” kata majelis.
Pilihan sulit
Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Universitas Andalas Feri Amsari mengatakan, KPU mengalami dilema karena lembaga itu hanya mengikuti putusan Mahkamah Konstitusi, dan di satu sisi ada kewajiban juga untuk mengikuti putusan MA yang bertentangan dengan substansi putusan MK.
“Mau tidak mau KPU sebaiknya mengabaikan putusan TUN dan MA, serta taat kepada konstitusi yang tafsirnya telah diberikan oleh MK. Kalau KPU melaksanakan putusan TUN dan MA, sama halnya dengan KPU melanggar konstitusi. Sebaliknya, bila KPU menaati putusan MA, dia mengabaikan putusan MK dan konstitusi,” kata Feri.
Pilihan berat harus diambil oleh KPU. Menurut Feri, daripada mengabaikan konstitusi, KPU sebaiknya mengikuti putusan MK yang dianggap menerjemahkan keinginan dasar UUD 1945. Risikonya, bila KPU tidak mengikuti putusan PTUN, KPU bisa diajukan dengan dugaan pelanggaran etik ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Universitas Jember Bayu Dwi Anggono mengatakan, putusan PTUN justru bertentangan dengan makna putusan pengadilan tidak bersifat surut sebagaimana dipegang oleh MA. Sebab, pencoretan Oso itu dilakukan berdasarkan PKPU yang ketika itu belum dibatalkan oleh MA. Pembatalan PKPU itu pun dengan demikian tidak serta-merta membuat nama Oso masuk kembali ke dalam DCT, sebab putusan pengadilan tidak berlaku surut.
“Ukurannya ialah apakah DCT sudah ditetapkan atau belum. Ketika keluar putusan MK, DCT belum ditetapkan, dan masih daftar calon sementara (DCS). Oleh karenanya, masih dimungkinkan terjadi perubahan DCS. Namun, putusan MA keluar setelah DCT, sehingga semestinya putusan itu tidak diberlakukan surut,” ujar Bayu.
Kuasa hukum Oso, Gugum Ridho Putra mengatakan, putusan PTUN itu mau tidak mau harus dipatuhi oleh KPU sebagai tergugat. “Kami akan segera mengirim surat kepada KPU supaya mencantumkan nama Pak Oso ke dalam DCT, sesuai dengan putusan PTUN,” katanya.