JAKARTA, KOMPAS — Tim panitia seleksi calon pegawai negeri sipil diminta tidak terburu-buru mengeluarkan kebijakan khusus bagi pelamar yang tak lolos seleksi kompetensi dasar. Sebab, apabila mereka tetap diakomodasi, reformasi birokrasi dikhawatirkan bisa terhambat. Tingkat kelulusan yang sangat rendah seharusnya menjadi evaluasi bagi semua pemangku kepentingan dalam peningkatan mutu pendidikan.
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Achmad Baidowi, meminta tim panitia seleksi (pansel) calon pegawai negeri sipil (CPNS) untuk fokus menyelesaikan perekrutan yang berjalan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Penerapan kebijakan khusus bagi mereka yang tak lolos dalam seleksi kompetensi dasar (SKD) hanya akan menimbulkan ketidakadilan antarpeserta.
“Jadi, hasil kemarin sudah dianggap selesai. Selesaikan dulu yang ada. Kalau memang hasilnya rendah, itu menjadi evaluasi, bukan berarti langsung memberlakukan kebijakan khusus bagi mereka yang tidak lolos,” ujar Achmad di Jakarta, Kamis (15/11/2018).
Sebelumnya, berdasarkan data sementara Badan Kepegawaian Negara (BKN) per Rabu (14/11/2018), setidaknya data yang sudah masuk sebanyak 2,096 juta peserta dari 2,8 juta peserta yang mengikuti tes SKD. Data itu terbagi menjadi empat wilayah, yakni wilayah timur, tengah, barat, dan pusat (kementerian/lembaga).
Dari data yang sudah masuk, persentase kelulusan terkecil ada di wilayah timur, yakni sebesar 1,44 persen, kemudian diikuti wilayah tengah (2,18 persen), wilayah barat (3,82 persen), dan wilayah pusat (13,69 persen). Mayoritas pelamar gagal dalam tes karakteristik pribadi.
Menurut Achmad, hasil SKD tahun ini harus menjadi evaluasi komperehensif bagi semua pemangku kepentingan, tak hanya penyelenggara seleksi CPNS. Evaluasi itu meliputi tingkat kesulitan soal, kualitas pendidikan, dan tingkat ambang batas (passing grade) antardaerah.
”Evaluasi ini penting agar ke depan kita punya skema baru yang lebih matang untuk merekrut CPNS yang berkualitas. Jadi, tidak semata-mata demi memenuhi formasi, langsung diambil kebijakan khusus di tengah jalan,” tutur Achmad.
Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Ari Kuncoro mengatakan, penerapan kebijakan khusus bagi mereka yang tak lolos SKD sangat berisiko bagi proses reformasi birokrasi yang telah diwacanakan pemerintah saat ini. Apalagi, tantangan aparatur sipil negara ke depan kian besar di dalam era persaingan global.
”Kalau hanya asal memenuhi kuota, yang masuk pun jadi di bawah standar. Padahal, yang dibutuhkan saat ini mereka yang kompetitif, inovatif, harus menuju smart government, lebih melayani masyarakat, dan harus mencari solusi. Itu membutuhkan kualitas birokrasi yang jauh lebih baik. Jangan nanti malah menjadi hambatan,” ujar Ari.
Ari pun meminta kepada tim pansel CPNS agar penyelenggaraan seleksi mendatang harus dipertimbangkan pula ambang batas kompetensi yang diharapkan sesuai formasinya. ”Mungkin tingkat kesukaran bisa dibedakan antara kebutuhan satu formasi dengan yang lain. Tes bagi jabatan struktural biasanya dituntut lebih kreatif, bedakan dengan jabatan supporting,” katanya.
Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Eko Prasodjo menilai, pemerintah perlu melihat persoalan rendahnya tingkat kelulusan secara komprehensif.
”Salah satu penyebabnya adalah tingkat kesulitan soal tentang kepribadian. Mungkin tidak diuji coba terlebih dulu pada saat ditetapkan sebagai soal ujian dalam CAT (computer assisted test). Ada masalah dengan validitas dan relialibilitas soal,” ujar Eko.
Belum final
Deputi Bidang Pengawasan dan Pengendalian Kepegawaian BKN I Nyoman Arsa menuturkan, pemerintah saat ini masih mempertimbangkan dampak dari dua kebijakan yang telah disiapkan, baik penurunan ambang batas maupun sistem peringkat.
Menurut Arsa, pelamar yang tak lolos SKD tak bisa dipandang sebelah mata karena hasil akumulasi tes SKD mereka hampir sama dengan pelamar yang lolos murni SKD.
”Kalau dari skor total, banyak di antara mereka yang nilainya lebih tinggi. Namun, untuk kebijakannya seperti apa, kita lihat saja nanti. Saya belum berani menduga-duga,” ujar Arsa.
Secara terpisah, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan dan RB) Syafruddin mengatakan, hingga saat ini, pemerintah belum memutuskan di antara dua opsi yang ada, termasuk kemungkinan tidak diterapkannya dua opsi itu. Keputusan belum ditetapkan karena harus ditentukan secara bersamaan dengan tim pansel CPNS.
”Nanti kita tunggu hasil pansel,” ujar Syafruddin.
Sekretaris Kemenpan dan RB Dwi Wahyu Atmaji menambahkan, ”Belum ada kebijakannya. Kebijakan untuk mengisi yang lowong tunggu pemberitahuan. Tunggu minggu depan saja.”