Caleg Belum Banyak Dikenal
Hingga dua bulan setelah penetapan calon anggota DPR, DPRD, dan DPD, pengenalan publik terhadap para calon anggota legislatif yang akan bertarung dalam Pemilu 2019 cenderung masih rendah. Sebagian besar publik juga belum tahu nama yang akan dipilih saat pemilu legislatif pada 17 April 2019.
Hasil jajak pendapat Litbang Kompas, 14-15 November 2018, menunjukkan, jumlah calon pemilih yang belum mengetahui atau mengenal calon anggota legislatif (caleg) yang akan berkontestasi, baik untuk DPR, DPD, maupun DPRD kabupaten/kota dan provinsi, masih banyak. Makin tinggi level pemilihan, jumlah pemilih yang tidak tahu semakin banyak.
Di level DPRD kabupaten/kota, ada 50,6 persen calon pemilih yang tidak tahu nama caleg yang akan berkontestasi. Di tingkat provinsi, jumlah ini meningkat menjadi 55,7 persen dan untuk DPR menjadi 63 persen. Demikian pula untuk calon anggota DPD, jumlah yang tidak tahu mencapai 64,1 persen.
Di kelompok pemilih yang sudah tahu atau mengenal caleg yang akan maju dalam pemilu, tingkat pengenalannya juga masih rendah. Hanya 33,7 persen dari total responden yang mengenal 1-5 caleg tingkat DPRD kabupaten/kota. Tingkat pengenalan di level provinsi tidak jauh berbeda dengan di tingkat kabupaten/kota, terbanyak 1-5 orang.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan, pemilih dalam daftar calon tetap (DCT) anggota DPR sejumlah 7.968 orang dan calon anggota DPD sebanyak 807 orang. Adapun jumlah anggota DPRD provinsi, kabupaten, dan kota ditetapkan oleh KPU wilayah setempat, tetapi diperkirakan terdapat ratusan caleg di setiap daerah pemilihan.
Di Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan, misalnya, seluruhnya ada 450 caleg dari semua partai politik dan di salah satu daerah pemilihan saja mencapai 188 orang.
Tingkat pengenalan yang masih rendah ini membuat pilihan publik terhadap calon yang akan dipilih masih sangat longgar. Hingga saat ini, 63,5 persen calon pemilih belum menentukan nama calon anggota DPRD, DPR, ataupun DPD yang akan mereka pilih di Pemilu Legislatif 2019. Hanya ada 31,5 persen responden yang mengaku sudah memiliki beberapa pilihan nama di Pemilu Legislatif 2019 dan hanya 2,4 persen yang mengaku memiliki banyak calon yang sudah dipertimbangkan untuk dipilih.
Tingkat pengenalan yang rendah dan besarnya pemilih mengambang terhadap calon-calon anggota legislatif kemungkinan juga dipicu oleh kekecewaan calon pemilih atas kinerja para anggota legislatif selama ini. Berdasarkan hasil penilaian publik, 70,9 persen tidak puas atas kinerja anggota DPR. Ketidakpuasan juga diungkapkan terhadap kinerja anggota DPRD oleh 58,3 persen responden. Adapun ketidakpuasan terhadap anggota DPD sebesar 64,6 persen.
Alasan memilih
KPU telah memublikasikan daftar riwayat hidup para caleg untuk membantu publik mengenal dan kemudian memilih para calon wakilnya. Namun, sejauh ini publik juga telah memiliki alasan tersendiri dalam menetapkan pilihan.
Jajak pendapat Litbang Kompas memperlihatkan, rekam jejak atau prestasi belum menjadi alasan utama dari pilihan publik. Banyaknya wajah baru dalam kontestasi pemilu legislatif membuat calon pemilih lebih banyak bersandar pada kepribadian caleg. Kepribadian ini menyangkut sikap dan sifat yang dikenal publik serta kesiapan menghadapi risiko dari jabatan yang akan diemban oleh caleg. Dalam survei ini, rekam jejak atau prestasi menjadi alasan bagi 29,3 persen responden saat memilih, sedangkan aspek kepribadian menjadi pertimbangan bagi 32,6 persen responden. Alasan kedekatan dengan parpol pengusung dan agama caleg juga mencuat, tetapi belum cukup kuat.
Aspek ketokohan, yang tidak menjadi pertimbangan yang menonjol pada caleg DPR/DPRD, terlihat lebih kuat pada calon DPD. Jika pada pemilihan anggota legislatif hanya 4,8 persen yang menjadikan ketokohan sebagai alasan, pada pemilihan DPD alasan ketokohan disebut oleh 10,2 persen.
Caleg koruptor
Keterbukaan informasi tentang caleg akan sangat menentukan kualitas anggota legislatif terpilih di Pemilu 2019. Jika yang terpilih adalah politisi yang bermoral dan bersih dari kasus korupsi, setidaknya ada harapan lembaga legislatif yang baik dan bersih akan terwujud. Namun, jika caleg yang terpilih memiliki latar belakang korupsi, bagaimana respons masyarakat?
KPU akan mengumumkan sekitar 40 nama caleg bekas narapidana korupsi ke masyarakat. KPU sempat menerbitkan peraturan yang membuat bakal calon legislator yang pernah terlibat kasus korupsi akan dicoret dari daftar caleg. Namun, Mahkamah Agung (MA) kemudian menyatakan, aturan itu bertentangan dengan UU Pemilu.
Maka, bekas narapidana perkara korupsi pun kini boleh terdaftar sebagai caleg asalkan mau mengumumkan keterlibatannya dalam korupsi sebelumnya kepada publik.
Namun, publik memiliki penilaian berbeda dengan putusan MA yang membolehkan mantan koruptor tetap menjadi caleg. Sebanyak 91,5 persen responden jajak pendapat ini menyatakan, caleg dengan latar belakang bekas narapidana korupsi seharusnya tidak diperbolehkan mencalonkan diri. Rekam jejak yang buruk ditengarai akan berdampak terhadap kinerjanya jika nanti terpilih. Selain itu, juga tak ada jaminan bahwa para caleg itu tidak akan mengulang perbuatan korupsi jika nanti terpilih.
Kehadiran caleg dengan latar belakang bekas narapidana korupsi sangat memengaruhi pilihan publik, baik terhadap pilihan mereka kepada caleg maupun partai pengusung. Sebanyak 88,3 persen responden menyatakan, pilihan mereka akan berubah jika caleg yang akan mereka pilih ternyata pernah terlibat korupsi. Sebanyak 72 persen responden juga akan mempertimbangkan pilihan terhadap parpol yang tetap mengusung caleg dengan latar belakang bekas narapidana korupsi.
Polemik DPD
Selain caleg dengan latar belakang narapidana korupsi yang sempat menjadi polemik, pendaftaran calon anggota DPD juga sempat diwarnai kekisruhan. Semula, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018 menyatakan anggota DPD dilarang merangkap jabatan menjadi anggota parpol.
Namun, MA kemudian mengabulkan gugatan uji materi Peraturan KPU Nomor 26 Tahun 2018 tentang larangan pengurus partai politik menjadi calon anggota DPD. Pemohon uji materi itu, yaitu Ketua Umum Partai Hanura Oesman Sapta Odang, sebelumnya dicoret KPU sebagai calon anggota DPD lantaran tidak menyerahkan surat pengunduran diri dari partai politik.
Dengan putusan ini, terbuka peluang bagi Oesman Sapta kembali terdaftar menjadi caleg. Terlebih, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta pada 14 November 2018 juga mengeluarkan putusan bahwa SK KPU Nomor 1130 tanggal 20 September 2018 tentang DCT anggota DPD bertentangan dengan UU Pemilu sehingga dinyatakan batal. PTUN pun memerintahkan KPU menerbitkan keputusan baru sehingga Oesman Sapta tetap dapat jadi calon anggota DPD.
Namun, publik merespons negatif kehadiran pengurus parpol dalam lembaga DPD. Sebanyak 58,3 persen responden tidak setuju jika anggota DPD juga diperbolehkan menjadi pengurus aktif parpol. Mereka khawatir, rangkap jabatan di parpol dan DPD berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dan sulit untuk bersikap independen.